Peta Situs | Komunitas Tzu Chi | Links  
| Tentang Kami | Berita Tzu Chi | Misi & Visi | Cara Berpartisipasi | Jadwal Kegiatan | Inspirasi | Kantor Penghubung | Kata Perenungan |
Berita Tzu Chi
 Berita Kemanusiaan
 Berita Kesehatan
 Berita Pendidikan
 Berita Kebudayaan
 Berita Lain
 Foto Peristiwa
Pesan Master
Tanpa mengerjakan sesuatu setiap hari adalah pemborosan kehidupan manusia, aktif dan berguna bagi masyarakat adalah penciptaan kehidupan manusia.
-- Master Cheng Yen  
Lihat Pesan Lainnya
Lain - lain
 Tzu Chi E-Cards
 Tzu Chi Wallpaper
 Tzu Chi Songs
 Tzu Chi Souvenir
 Hubungi Kami
 Forum Tzu Chi

 
Tanggal : 13/03/2008

Diskusi Buku Sanubari Teduh

Kunci Pembuka Hati

                                                                                                  artikel dan foto: Ivana

Foto

* Diskusi buku dalam Bahasa Indonesia pertama kali dilakukan di Jing Si Books & Cafe Kelapa Gading. Buku yang dipilih adalah Sanubari Teduh Jilid 1 dan 2.

"Saya bencinya karena saya umur 5 tahun ditinggalnya. Saya sama mama saya berdua susah, trus dia perginya bawa utang uang orang kabur begitu saja."

"Saya liat mama saya ada terima surat. Kabarnya bapak saya punya istri lagi. Istrinya itu anak kepala dukuh. Saya liat mama saya, barang punya papa saya dibuang ke belakang. Dia nangis, stres trus barangnya dibakar. Mama saya gadaikan rumah, uangnya dibuat merantau di Batam."

"Saya membencinya makin dalam, setiap kali bapak saya kirim surat, saya balasnya caci maki. Pernah saya bilang, 'Kalau kamu mati, saya pun tidak akan menangis!'."

"Pernah bapak saya telepon, dia minta 'Bisa ndak kamu satu kata-kata "papa" aja?' Saya bilang 'Saya ndak bisa. Kata-kata itu terlalu asing buat saya.' Dia sampai nangis, tapi saya juga dengan nada yang biasa-biasa menjawab tidak mau memanggil dia kata-kata "papa"."


Cerita Dewi Susanti yang mengalir lancar dalam kata-kata sederhana ini memukau 25 peserta sharing buku Sanubari Teduh di Jing Si Books & Cafe Kelapa Gading malam itu. Sharing buku dalam bahasa Indonesia ini pertama kali dilakukan pada tanggal 13 Maret 2008, pukul 19.00 ¡V 20.30. Meskipun hujan sempat turun beberapa saat sebelum sharing dimulai, satu demi satu peserta tetap berdatangan.

Dewi merupakan perantauan dari Riau, Sumatera. Sejak kecil ia mengalami masa-masa yang sulit, yang semua diawali sejak kepergian bapaknya. Ini membuat ia sangat membencinya.

Usia 5 tahun, bapak Dewi pergi meninggalkan ia berdua ibunya bersama setumpuk hutang dan rumah yang belum selesai dibangun. Untuk bertahan hidup, ibu Dewi menjual baju batik. Dewi disuruh ikut membantu. Tak lama, datang surat dari bapaknya yang mengatakan bahwa ia telah menikah lagi. Berita ini mematahkan hati ibunya yang kemudian menggadaikan rumah mereka lalu merantau ke Batam. Dewi yang anak tunggal pun dititipkan pada tantenya yang memperlakukannya seperti pembantu. Setelah SMP, Dewi nekat tinggal sendirian di rumahnya. Tapi adik bapaknya yang menikah dan kemudian tinggal di sana, juga memperlakukannya dengan buruk. Dewi yang saat itu berhenti sekolah dan bekerja dengan gaji Rp 80 ribu / bulan, diwajibkan memberikan separuh gaji pada pamannya itu. Maklum, pamannya ini tidak tetap penghasilannya, sehingga kalau ia tidak memberi uang, paman dan bibinya akan bertengkar karena masalah keuangan.

Dewi paling benci kalau dibilang mirip dengan bapaknya. Sebesar rasa bencinya pada sang bapak. Suatu kali, setelah Dewi menikah, bapaknya datang untuk menemuinya. Tapi Dewi berkata bahwa bapaknya sudah mati, dan bahwa ia dibesarkan tanpa bapak. Mendengar jawaban ini, bapaknya hanya diam dan pergi. Itu satu-satu kalinya Dewi berjumpa pada bapaknya sejak usia 5 tahun.

Rasa benci ini telah terpelihara selama 25 tahun. Meski keluarga dari pihak bapaknya menasehati, ia tetap keras hati. Dalam hidupnya seolah memang tidak ada orang yang layak dipanggilnya "Papa".

 

Ket: - Ji shou yang menjadi pemandu acara memberikan beberapa kisah Master Cheng Yen
        atau kisah Tzu Chi yang dapat menginspirasi peserta diskusi buku. (kiri)

      - Sembari mendengarkan sharing pengalaman peserta lain setelah membaca buku Sanubari
        Teduh, peserta disuguhi teh hangat yang membuat suasana kekeluargaan semakin terasa. (kanan)

"Jika kita menerima karma buruk dari kehidupan lampau kita dengan sukacita, maka beban kita akan menjadi lebih ringan. Meskipun akibat karma buruk yang disebabkan oleh kesalahan lampau kita sangatlah lama, kita dapat mengakhirinya jauh lebih cepat jika kita menanggungnya dengan senang hati."

Kata perenungan yang terdapat dalam Bab 10 buku Sanubari Teduh Jilid 2 ini telah mengubah hidup Dewi. Buku itu dibelinya di Jing Si Books&Cafe Kelapa Gading, setelah menyelesaikan buku Lingkaran Keindahan. "Waktu saya baca buku ini sampai di sini, tiba-tiba saya merasa bisa memaafin papa saya," katanya. Mungkin kebijaksanaan yang terkandung dalam buku itu menyentuh Dewi. Ia bahkan menyesali sikapnya yang buruk pada bapaknya selama ini. Baginya, "Mungkin ini adalah karma lampau saya. Saya anggap bab yang tadi saya baca adalah kunci buka hati saya buat bapak saya."

Sharing Dewi yang hanya berlangsung selama 10 menit itu membuat semua peserta terdiam mendengarkan. Beberapa orang terlihat sesekali mengusap air mata atau hidung mereka. Dengan pendidikan yang memang tidak terlalu tinggi, cerita Dewi memang tidak menggunakan kalimat yang tertata baik. Tapi, kesungguhan dan keterbukaannya menjadi daya tarik yang jauh lebih besar.

 

Ket: - Dewi Susanti salah seorang peserta yang menceritakan bahwa kutipan dari buku Sanubari Teduh
        membuka hatinya untuk menghapus dendam yang telah disimpannya selama 25 tahun. (kiri)

      - Ester menyempatkan diri datang ke acara ini sepulang bekerja di sebuah bank. Meski cuaca sedang
        tidak bersahabat, baginya kemalasan dan rasa enggan harus dilawan bila ingin mendapatkan hasil. (kanan)

"Sharing buku bagus sekali menurut saya, pengalaman-pengalaman yang bisa kita dapatkan dari mereka yang mengalami. Contohnya dari Dewi tadi, kita bisa belajar tentang kesabaran yang dia tunjukkan. Itu bagus sih. Bisa berbagi, yang nomor satu," kata Ester Kartini yang datang sepulang bekerja di sebuah bank. Dipandu oleh Ji Shou dan didukung oleh Tzu Xin, istrinya yang menyediakan teh, peserta mendapat pengetahuan baru mengenai kebijaksanaan hidup ataupun cara pandang Master Cheng Yen.

Dewi sendiri tidak tahu sebelumnya bahwa ia diminta untuk sharing. "Saya ada terima sms katanya ada sharing dari relawan yang dulu kala membenci orangtuanya. Saya pikir ada siapa yang senasib dengan saya, saya pengin tau. Ternyata saya sendiri yang cerita," tuturnya polos. Dewi yang pertama-tama mengenal Tzu Chi dari DAAI TV ini, sekarang telah mendaftar sebagai relawan Tzu Chi meskipun suaminya tidak setuju. Dan ia juga menjadi donatur Tzu Chi atas nama bapaknya. "Saya sudah bilang pada Tzu Xin Shi-jie bahwa saya berusaha cari kabar bapak saya di mana. Saya mau minta maaf sama dia, juga panggil dia 'Papa'," tukas Dewi.

 

Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia
Telp. (021) - 6016332, Fax. (021) - 6016334
Copyright © 2005 TzuChi.or.id