Peta Situs | Komunitas Tzu Chi | Links  
Tentang Kami | Berita Tzu Chi | Misi & Visi | Cara Berpartisipasi | Jadwal Kegiatan | Inspirasi | Kantor Penghubung | Kata Perenungan
Berita Tzu Chi
 Berita Kemanusiaan
 Berita Kesehatan
 Berita Pendidikan
 Berita Kebudayaan
 Berita Lingkungan
 Berita Lain
 Foto Peristiwa
Pesan Master
Tanpa mengerjakan sesuatu setiap hari adalah pemborosan kehidupan manusia, aktif dan berguna bagi masyarakat adalah penciptaan kehidupan manusia.
-- Master Cheng Yen  
Lihat Pesan Lainnya
Lain - lain
 Tzu Chi E-Cards
 Tzu Chi Wallpaper
 Tzu Chi Songs
 Tzu Chi Souvenir
 Hubungi Kami
 Forum Tzu Chi

 
Tanggal : 06/07/2008

Syuting Drama Kisah Enjah

Spirit untuk Terus Hidup

                                                                                                  artikel & foto : Ivana

Foto

* Menyaksikan syuting film tentang kehidupannya, membuat ingatan Enjah melayang pada masa-masa pahit yang pernah ia lalui.

Enjah duduk diam-diam di pinggir, jauh dari kamera. Di tengah kerumunan, seorang wanita berkerudung yang duduk di atas mobil tampak memeluk seorang wanita tua. “Maafin Umi ya, Njah. Umi cuma takut nanti Enjah kenapa-napa,” wanita tua itu berucap dalam isaknya. Kamera tak melepaskan sedetik pun adegan ini. Pikiran Enjah melayang pada kenangan 3 tahun lalu, saat perpisahannya dengan sang ibu ketika ia dan ketiga anaknya akan pindah ke Perumahan Cinta Kasih, Cengkareng. Air matanya berlinang mengenang.


Syuting drama terbaru DAAI TV Indonesia yang berkisah tentang kehidupan Enjah masih berlangsung. Sekitar 30 kru terlibat dalam proses rekam gambar yang dijadwalkan untuk 30 hari tersebut. Enjah yang cerita hidupnya diperankan oleh Nina Tamam, kali ini ikut melihat lokasi syuting. Setelah menjalani terapi selama 3 tahun, Enjah akhirnya dapat melepaskan diri dari kelumpuhan yang dideritanya. Meski dalam adegan yang diambil hari itu Nina Tamam harus berperan sebagai seorang lumpuh, kenyataannya hari itu Enjah sudah dapat berjalan ke lokasi syuting. Dan kedatangan ini seolah membawa Enjah kembali pada kenangan masa-masa pahit hidupnya. Sesekali ia tampak menyeka pipinya.

Enjah tadinya adalah ibu rumah tangga biasa yang penuh aktivitas. Sampai suatu ketika, ia terserang kelumpuhan hingga tak bisa menggerakkan anggota tubuh dan lebih banyak harus berbaring di tempat tidur. Dalam kondisi ini, sang suami pergi meninggalkan ia dengan 3 anak yang masih kecil. Dan kepada anak-anaknya inilah Enjah kemudian menyandarkan hidup. “Agak-agak sulit untuk memikirkannya. Maksudnya apa bisa (difilmkan), kayaknya kalo menurut Enjah pribadi bener-bener sulit untuk mengulang masa-masa itu. Untuk sakitnya Enjah seperti ini apa ada yang bisa memerankan seperti gitu?” tutur Enjah. Ia cukup terkejut saat DAAI TV menemuinya dan menyampaikan maksud membuat drama berdasarkan kisahnya. “Tapi Enjah juga bersyukur banget bisa difilmkan untuk inspirasi atau pendidikan, membangkitkan mereka yang seperti Enjah,” lanjutnya.

 

Ket: - Di mata Nina, Enjah adalah seorang ibu yang kuat dan tabah karena rasa cintanya yang begitu besar pada
         anak-anaknya. (kiri)

     - Nina Tamam yang memerankan Enjah belum pernah bermain dalam sinetron atau drama berseri sebelumnya. Ia yang
         seorang enerjik harus berperan menjadi orang yang lumpuh dalam drama ini. (kanan)

Bilamana Enjah tak yakin apakah ada orang yang bisa memerankan penderitaan yang dialaminya, memang tak mudah bagi Nina Tamam untuk menghayati peran ini. Selama ini artis yang lebih dikenal sebagai anggota grup vokal Warna ini belum pernah membintangi sinetron atau drama berseri. Tentang pengalaman pertamanya ini, ia bertutur, “Penjiwaannya sih sulit karena buat saya, saya terbiasa ngapa-ngapain tu bergerak bebas. Ketika syuting pun Mas Reka (sutradara drama ini –red) sudah bilang, ‘Inget ini jalannya Bu Enjah ketika baru tahap-tahap awal sakit.’ Jadi aku (jadi inget) ‘O ya, aku ga boleh (begini).’ Kan aku biasa jalan tegak.” Nina mengaku bahwa saat menerima tawaran main drama ini, ia tidak mengetahui bahwa drama ini diangkat dari kisah nyata. Namun ia memantapkan hati untuk tetap bermain karena terkesan dengan ketabahan dan ketegaran Enjah yang diperankannya. “Ibu Enjah itu sabar, tough (tegar –red), kuat... kuat banget. Walaupun manusia wajar ya fluktuatif, tapi keinginan (ia) bertahan... sama cintanya dia ke anak-anak yang membuatnya bertahan itu... yang membuat saya... ‘Ya Allah cinta ibu ama anak itu ndak ada duanya yah. Cinta anak ke ibu juga luar biasa’,” cerocosnya sungguh-sungguh. Ia melanjutkan dengan mengingatkan Adit (anak kedua Enjah yang ikut ke lokasi syuting) untuk selalu menyayangi ibunya.

Pada hari itu terdapat beberapa adegan mengenai relawan Tzu Chi yang melakukan survei ke rumah Enjah di Tanjung Kait, Tangerang, serta membawa Enjah untuk pindah ke Perumahan Cinta Kasih Cengkareng. Untuk membantu kelancaran adegan ini, relawan Tzu Chi, Lulu dan Vivian, diundang untuk membantu. Lulu dan Vivian menerangkan kepada pemeran relawan mengenai budaya kemanusiaan Tzu Chi yang menjadi pedoman perilaku seluruh relawan Tzu Chi. “Jangan lupa senyum, Ibu. Relawan Tzu Chi saat bertemu siapa pun selalu bersikap seperti pada keluarga sendiri,” Vivian menjelaskan pada pemeran Ibu Yansen dalam adegan dimana relawan Tzu Chi baru pertama kali bertemu dengan Enjah. Anak-anak yang berperan sebagai anak-anak Enjah ternyata menyukai siaran DAAI TV. Kepada mereka, relawan Lulu menjelaskan, “Da itu artinya besar, Ai itu cinta kasih. Jadi DAAI itu cinta kasih universal. Artinya kita harus menyayangi siapa saja, pada bumi juga.”

 

Ket: - Lulu dan Vivian, relawan Tzu Chi yang diundang ke lokasi syuting untuk memberi gambaran lebih jelas pada Reka
         Wijaya (sutradara drama) mengenai budaya kemanusiaan yang menjadi pedoman perilaku relawan Tzu Chi. (kiri)

     - Beberapa adegan drama menampakkan relawan Tzu Chi yang sedang mengadakan survei ke rumah Enjah. Meski
         pemeran relawan tidak mengenal Tzu Chi sebelumnya, namun mereka sungguh-sungguh berusaha menjiwai
         peran. (kanan)

Reka Wijaya yang menyutradarai drama ini adalah “dalang” yang piawai mengarahkan para pemeran. Terkadang ia duduk di dalam tenda sambil mengamati layar yang menampilkan gambar yang tertangkap lensa kamera. Tapi tak jarang pula ia melihat dari dekat adegan berlangsung, atau bahkan merekam sendiri adegan dengan kamera untuk mendapatkan angle yang diinginkannya. “Dia membebaskan saya gimana ekspresinya, tapi dia mengutarakan keinginannya dan memvisualisasikan apa yang ada di skrip dan apa yang ada dalam kepalanya itu sama saya. Aku beruntung banget dapat director pertama kayak dia,” ujar Nina. Dan Reka menjelaskan, “Kalo true story kayak gini, tantangannya adalah gimana merealisasikan apa yang pernah terjadi, tapi harus disesuaikan dengan kebutuhan sebuah gambar gitu. Nggak semua kejadian bisa diangkat ke dalam skenario. Semua tergantung pada seberapa sensitif kita saat menterjemahkan sebuah cerita nyata.” Kisah nyata adalah kisah yang dekat dengan kehidupan setiap orang, karena itu sang sutradara tidak dapat merekayasa ekspresi, lokasi, ataupun jalan cerita. Bila terjadi kejanggalan dengan cepat akan disadari oleh pemirsa. Bagaimanapun, produksi film bergantung penuh pada kerja tim, beberapa orang yang tampaknya hanya bertugas menyiram tanah sekitar lokasi syuting agar tidak berdebu, atau memasang tali jemuran sebagai latar, sama-sama punya peran untuk membangun cerita yang menggugah semangat hidup ini. Reka mengungkapkan, “Saya pilih (drama ini) karena hati saya mau. Kalo di sini lumayan inspiring ceritanya, orang punya semangat lagi untuk hidup. Bikin bentukan rasa optimis, bangkitin orang lebih percaya bahwa hidup tuh ga berhubungan dengan material. Material tuh hubungan yang kesekianlah dalam hidup, yang pertama ya spirit lo hidup.”

 

Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia
Telp. (021) - 6016332, Fax. (021) - 6016334
Copyright © 2005 TzuChi.or.id