Peta Situs | Komunitas Tzu Chi | Links  
Tentang Kami | Berita Tzu Chi | Misi & Visi | Cara Berpartisipasi | Jadwal Kegiatan | Inspirasi | Kantor Penghubung | Kata Perenungan
Berita Tzu Chi
 Amal
 Kesehatan
 Pendidikan
 Budaya Kemanusiaan
 Lingkungan
 Berita Lain
 Foto Peristiwa
Pesan Master
Tanpa mengerjakan sesuatu setiap hari adalah pemborosan kehidupan manusia, aktif dan berguna bagi masyarakat adalah penciptaan kehidupan manusia.
-- Master Cheng Yen  
Lihat Pesan Lainnya
Lain - lain
 Tzu Chi E-Cards
 Tzu Chi Wallpaper
 Tzu Chi Songs
 Tzu Chi Souvenir
 Hubungi Kami
 Forum Tzu Chi

 

Tanggal : 17/01/2009


Bingkisan Imlek untuk Penerima Bantuan Tzu Chi

Terima Kasih Angpaunya

                                                                                           artikel & foto: Sutar Soemithra

Foto

* Yanti menerima angpau dari relawan Tzu Chi. Baginya, angpau tersebut juga sebagai simbol berkah baginya untuk melawan kanker payudara stadium empat yang kini mengintai nyawanya.

Bagi orang Tionghoa, hal yang paling diingat ketika merayakan tahun baru Imlek adalah menerima angpau. Bukan jumlahnya yang terpenting, melainkan karena angpau yang berwarna merah itu adalah simbol berkah bagi penerimanya. Menjelang pergantian tahun baru Imlek yang akan jatuh pada tanggal 26 Januari 2009 kelak, Tzu Chi membagikan bingkisan Imlek kepada sejumlah penerima bantuan Tzu Chi. Tentu saja tidak lupa termasuk angpau. Tanggal 20 Januari lalu, 5 relawan Tzu Chi membagikannya kepada dua penerima bantuan Tzu Chi di Kelurahan Pejagalan, Jakarta Utara.


Berkah untuk Melawan Kanker
Bagi Yanti (52), pemberian angpau selain bisa sedikit meringankan biaya berobat, juga merupakan sebuah doa agar bisa melawan kanker payudara stadium 4 yang kini mengintai hidupnya. Tubuhnya sangat kurus dan rasa nyeri tak pernah berhenti menyerang. Ketika mengetahui relawan Tzu Chi mengunjunginya, sambil terkulai lemah, Yanti langsung merintih sambil menangis, “Sakit... Sakit...” Para relawan langsung menghampirinya dan menenangkannya. Tidak ada ranjang buat tubuh Yanti yang lemah, hanya sebuah karpet tipis yang digelar di lantai dari kayu yang berada di loteng.

Kanker menyerang Yanti sejak tahun 2007. Awalnya Yanti dan suaminya tidak merisaukannya. “Kita orang miskin biarin aja, tak mungkin jadi apa-apa. Tau-tau lama-kelamaan makin gede,” cerita Gwee Cay-tang (59), sang suami. Yanti akhirnya dirawat di RS Dharmais selama 2 bulan, tapi kemudian terpaksa pulang karena tidak ada biaya. Mereka pun kemudian beralih ke obat-obatan tradisional Tiongkok. Hasilnya lumayan, benjolan yang terus membesar tersebut pecah. Namun kanker masih bersarang di tubuh Yanti.

November 2008, Yanti menjadi penerima bantuan Tzu Chi. Tzu Chi tidak memberikan bantuan biaya pengobatan karena kanker yang diidap Yanti telah memasuki stadium empat. Kunjungan relawan Tzu Chi kali ini adalah yang ketiga kalinya. “Saya terharu sampai air matanya keluar. Terima kasih sama Tzu Chi,” ucapnya terbata-bata.

 

Ket: - Kepada relawan Tzu Chi, Yanti mengeluh dan merintih tak tahan menanggung penyakitnya. Relawan pun ikut sedih
         menyaksikan kondisinya dan berusaha menghiburnya untuk tetap memiliki semangat hidup. (kiri)

     - Yanti walaupun dengan berat hati harus melepas relawan Tzu Chi yang telah selesai mengunjunginya. (kanan)

Kondisi Gwee sendiri saat ini tidaklah terlalu bugar. “Saya 8 tahun lebih kena stroke,” tutur Gwee. Sebelum Yanti tergolek lemah, Gwee sangat tergantung kepada Yanti. Semua aktivitasnya dari makan hingga mandi harus dibantu oleh Yanti. “Semua dia bantu. Pagi-pagi (saya) bangun, dia ikut bangun,” ucap Gwee, “Akhirnya saya latihan, saya bisa jalan.”

Kini keadaan terbalik, walaupun masih agak kepayahan, Gwee yang mengurusi segala keperluan Yanti. “Banyak utang saya. Dulu dia jaga saya, sekarang (saya) bayar utang,” ujar Gwee lirih. Ketiga anak mereka –John (20), Jenni (18), dan Susan (17)– pun tidak terlalu khawatir meninggalkan mereka berdua sendirian di rumah. John telah kerja, sedangkan Jenni dan Susan masih duduk di bangku SMK. Ketiganya anak yang pandai. John dan Jenni dapat beasiswa, sedangkan Susan menjadi anak asuh.

Mengetahui kecil harapan bagi Yanti untuk bisa sembuh, Gwee malah mempunyai tekad, “Kalau dia jalan (meninggal –red), nggak tau saya gimana?” Matanya berkaca-kaca. Ia menangis. Salah seorang relawan, Lie Fie Lan, segera menepuk bahunya menenangkannya, “Jangan nangis. Kita mesti terima dengan kenyataan.”

 

Ket: - Gwee Cay-tang (kiri) kini membayar hutang untuk merawat Yanti. Dulu ketika terkena stroke, Gwee sangat tergantung
         kepada Yanti yang mengurus segala keperluannya. (kiri)

     - Relawan Tzu Chi merapikan rambut Icen. Selain itu, relawan Tzu Chi juga membantu merapikan rumahnya yang agak
         kurang terurus. (kanan)

Merayakan Imlek dalam Kesendirian
Tak terlalu jauh dari kediaman Yanti, tinggallah penerima bantuan Tzu Chi yang lain. Namanya Bun Dyit-tjin, atau lebih akrab dipanggil Icen. Ia tinggal sendirian di sebuah rumah sederhana di dalam sebuah gang sempit. Hingga usianya menginjak 64 tahun, ia masih menyendiri.

Icen juga agak kepayahan dalam berjalan. Ia harus menyeret telapak kakinya sejengkal demi sejengkal untuk melangkah. Dulu kakinya bengkak begitu besar seperti pengidap kaki gajah. Setelah berobat di RSKB Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, Jakarta Barat, kakinya akhirnya kempis. Namun Icen juga memiliki penyakit lain, yaitu paru-paru dan jantung berair.

Untuk hidup sehari-hari Icen sering dibantu oleh saudara dan juga bantuan dari gereja. Salah satu relawan, Maya, yang rumahnya tidak terlalu jauh darinya kadang sering mengunjunginya. Ia bilang hari itu sangat senang karena relawan ramai-ramai berkunjung ke rumahnya memberikan bingkisan dan angpau Imlek. Walaupun masih tetap sendirian, setidaknya Imlek kali ini dia bisa membuat cemilan sendainya ada tamu yang berkunjung ke rumahnya.

 

Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia
Telp. (021) - 6016332, Fax. (021) - 6016334
Copyright © 2005 TzuChi.or.id