Peta Situs | Komunitas Tzu Chi | Links  
Tentang Kami | Berita Tzu Chi | Misi & Visi | Cara Berpartisipasi | Jadwal Kegiatan | Inspirasi | Kantor Penghubung | Kata Perenungan
Berita Tzu Chi
 Amal
 Kesehatan
 Pendidikan
 Budaya Kemanusiaan
 Lingkungan
 Berita Lain
 Foto Peristiwa
Pesan Master
Tanpa mengerjakan sesuatu setiap hari adalah pemborosan kehidupan manusia, aktif dan berguna bagi masyarakat adalah penciptaan kehidupan manusia.
-- Master Cheng Yen  
Lihat Pesan Lainnya
Lain - lain
 Tzu Chi E-Cards
 Tzu Chi Wallpaper
 Tzu Chi Songs
 Tzu Chi Souvenir
 Hubungi Kami
 Forum Tzu Chi

 

Tanggal : 28/03/2009


Pembagian Bantuan Korban Bencana Alam

Dini Hari di Situ Gintung

                                                                                           artikel: Apriyanto & foto: Henri Tando & Apriyanto

Foto

* Adi Prasetio, Ketua Tim Tanggap Darurat Tzu Chi secara simbolis menyerahkan paket bantuan berupa 200 buah selimut dan 200 buah handuk ke Posko Kodam Jaya untuk diberikan kepada warga korban bencana.

Sabtu siang, 28 Maret 2009, seorang pria berkaus panjang oranye, bercelana panjang hitam keluar dari ruang pemandian jenazah. Tangannya membopong seorang bayi berbalut kain kafan putih. Kepala bayi itu ia letakkan di lengan kanannya. Langkahnya ia seret perlahan-lahan seolah memberi irama kesunyian di antara keramaian massa. Sesampainya di lobi kampus STIE Ahmad Dahlan, di atas karpet hijau yang dialasi lagi dengan kantung jenazah berwarna kuning, ia berlutut dengan lemah dan membaringkan jenazah bayi itu dengan hormat di atas kantung jenazah.


Wajah bayi itu putih dan mulai tampak kebiru-biruan. Dua buah kapas telah disumbatkan ke dalam lubang hidungnya. Tak ada senyum di wajahnya, namun menggambarkan ekspresi wajah yang lugu, wajah yang damai tanpa dosa.

Puluhan fotografer dari berbagai media langsung memotonya. Kilatan cahaya kamera menjadi kilapan yang menerangi ruangan yang sedari tadi temaram. Salah seorang petugas Search and Rescue (SAR) mengatakan, “Kawan-kawan dari media, silahkan difoto dan tolong langsung dicetak untuk dipasang dan dijadikan informasi.”

Dengan pengeras suara petugas SAR mengumumkan, “Telah ditemukan, bayi perempuan berusia kira-kira 3 sampai 6 bulan. Bercirikan menggunakan kaus singlet putih dan memakai pumpers merek preety. Bila ada yang mengenali tolong sampaikan ke keluarganya.”

Hujan mulai turun, rintikannya yang semakin deras membasahi semua yang ada dan yang tersisa. Derunya terdengar bagai tangisan yang menyayat hati, mengguncangkan batin, dan menggetarkan jiwa.

Lima belas menit telah berlalu. Hujan masih saja deras mengguyur. Petugas SAR kembali mengumumkan, “Telah ditemukan bayi perempuan berusia 3 sampai 6 bulan, berkaus singlet putih dan memakai pumpers merek preety. Ditemukan pukul 10.30 di Bukit Pratama.”

Taka ada satu pun di antara kerumunan massa yang yang bersuara, karena mereka memang tidak mengenalinya. Hanya pandangan iba dan sedih yang terpancar dari wajah-wajah mereka. Seorang petugas SAR kembali memberikan pengumuman, “Jika tidak ada keluarga yang datang dan tidak ada yang mengenali, maka jenazah ini akan kami bawa ke Rumah Sakit Fatmawati.”

Beberapa saat kemudian, sebelum jenazah di bawa ke rumah sakit, datang seorang bapak berkaus panjang putih, bertubuh agak gemuk mendekati jenazah bayi itu dan memperhatikannya, lalu berkata kepada salah satu petugas SAR, “Sepertinya saya mengetahui keluarganya, coba saya hubungi dulu.” Petugas SAR yang lain bertanya, “Bapak siapa?” “Saya Ahmad Suparli dari YBM BRI, relawan,” jawabnya.

Dirogohnya telepon genggam yang ada di kantung celana sebelah kanan, langsung ia menghubungi keluarga korban yang ia maksud. Dalam komunikasi di dalam telepon, Ahmad menceritakan kepada keluarga korban yang ia maksud tentang ditemukannya sesosok bayi dengan ciri-ciri: bayi perempuan, memakai kaus singlet putih, dan memakai pumpers merek preety. Ternyata semua ciri-ciri yang ia sebutkan memiliki kesamaan dengan ciri yang dimaksud keluarga korban. Lalu ditelepon Ahmad berkata, “Jenazahnya sudah dimadikan dengan baik dan dikafankan putih. Sekarang kami akan bawa ke Rumah Sakit Fatmawati ya, Bu. Ibu nanti bisa langsung datang ke sana saja.”

 

Ket: - Adi Prasetio, Koordinator Tanggap Darurat Tzu Chi saat berkoordinasi dengan anggota Kodam Jaya dalam membahas
         cara memberikan bantuan kepada para korban bencana. (kiri)

     - Atung, relawan Tzu Chi turut menyerahkan bantuan. (kanan)

Setelah teleponnya ditutup, Ahmad mengumumkan, “Ya, benar! Ini anaknya. Namanya Edelweis, usianya dua bulan, ibunya bernama Yunita Rahman, ayahnya orang Inggris. Sekarang ia masih di Semarang sedang mengantar jenazah pembantunya yang juga meninggal, tapi ia segera pulang ke Jakarta sekarang.”

Selesai Ahmad memberikan pengumuman, seorang petugas SAR mendekati jenazah Edelweis, kemudian berlutut di depannya. Selembar kain putih ia gunakan untuk menutupi seluruh tubuh Edelweis dan diselimuti lagi dengan kain sarung biru bermotif kotak-kotak. Kemudian dengan lembut ia julurkan lengan kanannya ke bawah kepala jenazah Edelweis, sedangkan lengan kirinya merangkul tubuh bagian bawah. Dengan penuh perasaan ia membopongnya, berjalan pelan meninggalkan lobi dengan dipayungi kantung jenazah berwarna kuning. Setelah menerobos kerumunan massa, ia lalu menghilang diantara keramaian.

Seperti Biasa
Kamis itu, 26 Maret 2009, semua terlihat biasa seperti hari-hari sebelumnya. Tak ada sesuatu yang berbeda. Warga yang tinggal di Kampung Poncol Situ Gintung, Kelurahan Cirendeu menjalani aktivitasnya sehari-hari dengan biasa, berdagang dan memancing.

Samsudin, biasa dipanggil Udin. Pria berusia 35 tahun, bertubuh kekar dengan tinggi sekitar 168 cm dan berkulit agak gelap ini telah dua tahun lamanya bekerja pada tempat pemancingan Galatama yang berlokasi di sekitar danau Situ Gintung. Kamis pagi, Udin mengawali harinya dengan pergi menuju pemancingan Galatama tempatnya bekerja, semuanya berjalan seperti biasa.

Hari itu agak spesial bagi Udin, sebab di hari libur (Hari Raya Nyepi) tempat pemancingan Galatama mengadakan perlombaan memancing dan Udin hari itu bertugas sebagai petugas yang mengawasi jalannya lomba.

Hari semakin siang dan hujan mulai turun mengguyur Situ Gintung dan sekitarnya. Tetapi debit air di Situ Gintung masih terlihat normal, mereka yang mengikuti perlombaan masih sabar menunggu umpannya disambar oleh ikan-ikan yang ada di empang, dan Udin masih tetap menjalani tugasnya sebagai pengelola pemancingan.

Secara geografis, ujung dari Danau Situ Gintung menghadap langsung ke pemukiman penduduk dan dibatasi oleh sebuah tanggul yang terbuat dari gundukan tanah merah yang telah diperkeras. Biasanya oleh warga tanggul ini dijadikan sebagai akses jalan. Beberapa bulan sebelumnya, tanggul ini mulai terlihat longsor, kikisan tanah mulai terlihat berguguran dari bagian bawah tanggul. Namum kecemasan akan bahaya besar yang akan mengancam tidak disadari oleh warga, sehingga banyak warga menjalani aktivitas sehari-harinya seperti biasa tanpa rasa cemas.

Siang menjelang sore, hujan semakin deras. Debit air di Situ Gintung mulai menunjukkan peningkatan dan lama-kelamaan akhirnya air itu sejajar dengan tanggul yang menghadap ke pemukiman warga. Sedikit demi sedikit air mulai melimpah keluar tanggul dan mengalir ke bawah yang memang terdapat sebuah aliran sungai di bawahnya.

 

Ket: - Sutrisno, salah seorang warga yang menjadi korban. Meski rumahnya rusak terkena air bah, ia dan keluarganya
         selamat dari terjangan air bah. (kiri)

     - Relawan Tzu Chi segera menyurvei dan memberikan bantuan kepada warga korban bencana di Situ Gintung. Karena
         sulitnya mendata warga yang menjadi korban, akhirnya relawan bekerjasama dengan pihak Kodam Jaya dalam
         menyalurkan bantuan.(kanan)

Malam hari selesai perlombaan memancing, Uding langsung bergegas pulang menuju rumahnya yang berada di RT 03, RW 08, Kelurahan Cirendeu, Tangerang, Banten. Rumah Udin berada di daerah aliran sungai, tetapi letaknya ada di atas sehingga tidak berhadapan langsung dengan Kali Pesangrahan. Selama perjalanan pulang, di dalam hatinya masih terselip kekhawatiran bahaya yang akan terjadi setelah ia menyaksikan air di Situ Gintung yang mulai meluap. Rasa khawatir terus mengusik Udin, sampai akhirnya pukul 21.00, ia menghubungi Kiki teman sekerjanya untuk mengetahui kondisi di Situ Gintung. Berkali-kali dihubungi, telepon Kiki masih belum bisa tersambung, sampai akhirnya Udin menenangkan dirinya sendiri dan kecemasannya berangsur-angsur menghilang. Maka Udin pun beranjak keperaduannya untuk beristirahat.

Tiba-tiba Jumat, pukul 01.30 dini hari, telepon genggamnya berdering. Dilihatnya telepon dari Kiki. Baru ia menjawabnya, Kiki langsung berkata, “Din lu di mana?” “Gua di rumah,” jawab Udin. “Lu ke sini, ke empang, buru-buru! Setu jebo!”

Tak banyak yang dibicarakan oleh Udin dan Kiki ditelepon, dan Udin langsung bergegas menuju daerah aliran sungai untuk melihat arus air Kali Pesangrahan. Dalam pantauannya arus air terlihat biasa. Memang ada peningkatan, tetapi bila keadaan hujan, arus Kali Pesangrahan debitnya memang seperti ini, meningkat. Meski arus kali tidak terlalu deras, Udin tetap melangkahkan kaki menuju Situ Gintung.

Sesampainya di situ, air sudah terlihat sangat deras melewati tanggul Situ Gintung. Terjangan air membuat badan tanggul yang terbuat dari gundukan tanah merah mulai terkikis. Perlahan-lahan longsor ke bawah dan hanyut mengikuti arus air. Jembatan tanggul yang semula lebarnya dua meter kini semakin kecil karena tergerus oleh derasnya air yang keluar dari Situ Gintung. Melihat kondisi ini, Udin bersama Kiki segera menyelamatkan semua barang-barang yang ada di warung dan tempat pemancingannya.

Setelah ia selesai mengangkut semua barang-barang, Udin dan Kiki beristirahat sejenak. Berselang beberapa saat, pukul 04.00, suara longsoran terdengar dari arah tanggul. “BreukBreuk…!” Sebagian tanggul itu runtuh, hanya menyisakan sedikit bagian yang juga siap untuk runtuh kembali. Maka Udin berinisiatif segera menelepon H. Ismed, kakaknya untuk memberitakan bahaya yang akan mengancam warga. Dalam telepon Udin berkata, “Abang di mana, posisi abang?” “Gua ada di Rumah Abah.” “Tolong bilangin ke warga yang ada di bawah, setu jebol” pinta Udin. “Lu jangan di bawahnya,” saran sang kakak. “Iya, iya Bang, saya menjauh dari setu.”

Dalam sekejap, air melimpah bergulung-gulung menuju pemukiman warga RT 02, RT 03, dan RT 04. Warga yang telah mengetahui segera berlindung ke tempat yang lebih tinggi. Arus yang semakin deras terus bergerak kencang menyapu semua yang ada dan memecahkan bangunan-bangunan. Tanggul Situ Gintung pecah, bencana telah datang.

 

Ket: - Banjir yang masih tinggi membuat sebagian jalan terputus dan tidak dapat dilalui oleh kendaraan bermotor. (kiri)
     - Air yang melimpah menyapu semua bangunan yang ada dan hanya menyisakan reruntuhan puing dan tubuh yang tak
         bernyawa. (kanan)

Beberapa ratus meter dari Situ Gintung, pukul 04.15, Sutrisno telah terjaga. Di usianya yang ke-67 tahun, rambut-rambut di kepalanya sudah nampak jarang dan memutih. Bola matanya sudah tidak lagi berwarna hitam pekat, tetapi agak sedikit keabu-abuan. Kerutan-kerutan di tulang pipi dan dahinya menggambarkan sejuta pengalaman dan selaksa peristiwa dalam hidupnya.

Rumah Sutrisno berlantai dua dan berada di tepian Kali Pesangrahan. Saat itu di rumah Sutrisno ada Ade, putrinya, Wartono menantu, dan dua cucunya, Bimo dan Putri. Setelah menyelesaikan shalat, seperti biasa Sutrisno memasak air untuk keperluannya sendiri, yaitu menyeduh kopi. Anak, cucu, dan menantunya juga sudah bangun pagi itu.

Air baru saja mendidih, segelas kopi baru diseduhnya, dan sesendok teh kopi cair baru menghangatkan kerongkongannya. Tiba-tiba suara gemuruh terdengar dari luar. Belum sempat melihat keadaan, air sudah memasuki rumahnya dan langsung meninggi selutut orang dewasa. Suara gaduh terdengar semakin jelas akibat air yang membentur dinding dan pintu rumah.

Dalam keadaan panik, Sutrisno memerintahkan anak, cucu, dan menantunya untuk keluar rumah. Dengan langkah yang gemetar diterpa jeram air bah, Sutrisno sekeluarga menaiki tangga di jalan untuk mencapai lokasi yang lebih tinggi.

Dalam waktu yang sama, Siti Hariarti bersama suaminya Saldio dan ketiga anak-anaknya masih terlelap dalam tidur di kontrakannya yang letaknya hanya beberapa meter dari rumah Sutrisno. Teriakan warga yang memekikkan telinga membuat Sri terbangun. Listrik telah padam dan teriakan dari orang-orang yang menyelamatkan diri terdengar jelas. Sri bersama suami dan anak-anaknya segera meninggalkan kamar kontrakannya. Sambil lari tunggang langgang, Sri berteriak, “Jangan ada yang di kontrakan, keluar semua.”

Suasana bertambah kacau. Listrik yang padam dan jalanan yang disesaki oleh orang-orang yang berjuang untuk hidup, membuat suasana pagi itu menjadi terasa mencekam. Air semakin deras dan debitnya semakin tinggi. Beberapa kali terdengar teriakan-teriakan yang menyayat hati dari orang-orang yang hanyut di sungai, “Allahuakbar..!” “Tolong…tolong..!”

Ket: - Sampai hari Sabtu, 28 Maret 2009, sisa-sisa air dan lumpur masih menggenanggi sebagian pemukiman warga.

Hati Sri Hariati semakin terguncang melihat peristiwa tragis yang menyayat hati. Semua ia saksikan bagai sambaran kilat yang hanya bisa ia lihat tanpa bisa berbuat apa-apa. Dalam hatinya berkata, “Miris, ingin rasanya menolong, tapi saya sendiri harus menyelamatkan diri.” Teriakan itu terus terngiang-ngiang, menandakan jiwa-jiwa yang lemah mengharapkan sebuah pertolongan. Dalam sekejap air bah telah menghanyutkan semua yang ada dan hanya menyisakan puing-puing sisa reruntuhan bangunan serta tubuh-tubuh yang tak lagi bernyawa.

Tanggap Darurat Tzu Chi
Jumat, 27 Maret 2009, pukul 06.00, Abdul Muis, relawan Tzu Chi bersiap untuk berangkat ke kantor yang berlokasi di Jalan MH Thamrin. Begitu di dalam mobil, sopirnya memberitahukan bahwa dini hari telah terjadi musibah besar, tanggul di Situ Gintung, Cirendeu jebol dan menimbulkan banyak korban jiwa.

Berhubung tempat tinggalnya tidak jauh dan juga atas panggilan jiwa, ia segera menuju lokasi untuk melihat keadaan. Sesampainya di lokasi keadaan sudah kacau, ramai oleh orang-orang yang mengungsi dan petugas keamanan. Sisa-sisa lumpur dan puing-puing yang bergelimpangan menjadi pemandangan yang memilukan. Tepat pukul 07.00, Adi Prasetio relawan Tzu Chi mendapatkan kabar yang sama, yaitu terjadi musibah di Situ Gintung, Cirendeu, Tangerang, Banten. Mengetahui lokasinya yang dekat dengan Jakarta Selatan, maka ia segera menghubungi Rudi Lazuardi dan Tuti yang dimintanya untuk melihat keadaan serta mendata nama-nama korban untuk nantinya akan diberikan bantuan. Meski telah menunggu hampir seharian, informasi tentang nama-nama korban yang meninggal pun belum didapat dengan pasti. Baru pada malam harinya informasi itu kemudian diperoleh dan ia segera mempersiapkan bantuan yang akan diberikan lalu mengoordinasikan relawan-relawan Tzu Chi untuk turut serta bersumbangsih pada baksos kemanusiaan di hari Sabtu besok.

Sabtu 28 Maret, sekitar pukul 07.00, beberapa relawan Tzu Chi yang mengenakan seragam biru-putih telah berkumpul di Jing Si Books & Café, Pluit, Jakarta Utara. Adi sendiri datang beberapa menit kemudian. Menjelang pukul 08.00 jumlah relawan yang hadir semakin banyak, semuanya berjumlah 40 orang, yang terdiri dari relawan biru-putih, relawan abu putih, dan relawan simpatisan Tzu Chi. Setelah berkumpul, maka Lo Hok Lay shixiong (panggilan relawan Tzu Chi -red) memberikan pengarahan kepada para relawan baru dan simpatisan Tzu Chi, “Ada beberapa peraturan yang harus ditaati saat mengikuti Baksos Tzu Chi tidak boleh merokok dan tidak boleh menutup hidung bila orang yang kita berikan bantuan itu bau, karena di Tzu Chi kita sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.”

Setelah pengarahan selesai diberikan, maka para relawan segera memasuki kendaraan yang telah diatur sebelumnya. Jam 08.10 WIB, rombongan ini berangkat menuju Situ Gintung, Cirendeu, Tangerang, Banten. Dua jam perjalanan, akhirnya rombongan Tzu Chi tiba di jalan Juanda Ciputat dan langsung menuju posko bencana alam yang didirikan oleh Kodam. Sesampainya di posko, Adi langsung disambut oleh salah satu anggota Kodam bernama Rohman. Adi langsung memberitahukan maksud kedatangannya bersama 40 relawan Tzu Chi untuk memberikan bantuan langsung kepada para korban. Kehadiran Tzu Chi sangat disambut baik oleh Kodam. Maka sebelum pemberian bantuan dilaksanakan, Adi bergegas menuju Kampus STIE Ahmad Dahlan untuk memperoleh nama-nama korban yang meninggal dunia dan korban lainnya yang tertimpa bencana. Dari data di posko didapat 73 korban meninggal dunia dan lebih dari 100 orang masih dalam pencarian. Setelah mendapat nama-nama korban yang meninggal dunia, Adi Prasetio segera kembali menuju posko Kodam dan mempersiapkan bantuan yang akan diberikan. “Rencananya kita akan bagikan 200 paket bantuan dan uang santunan bagi korban yang meninggal dunia,” terangnya.

Ket: - Karena dorongan air yang deras, Edelweis terlepas dari gendongan ibunya dan tubuhnya ditemukan tak bernyawa lagi
         pada pukul 10.30 di Bukit Pratama, Tangerang.

Menjelang tengah hari, Adi dipertemukan dengan Nana, ketua RT 004 yang warganya tertimpa bencana. Adi mengutarakan bahwa ia berniat untuk membagikan langsung paket bantuan kepada korban bencana, namun Nana langsung menyanggahnya dengan mengatakan, “Saat ini warga banyak yang telah terpisah kemana-mana. Kalau dikumpulkan itu sulit, terlebih dalam kondisi masih duka. Kalau Bapak mau memberikan bantuan kasihkan saja ke posko.”

“Maaf, Pak, bukan kami tidak mempercayai posko yang ada, tetapi yayasan kami bila memberikan bantuan harus diterima langsung ke penerima bantuan,” Jawab Adi menerangkan. “Ya, Pak, tetapi bila saat ini kami mengumpulkan seluruh warga sepertinya agak susah.” Nana kembali memberi alasan. “Baiklah kalau gitu, kami akan merundingkannya dulu. Maaf ya, Pak, sekali lagi kami tidak bermaksud untuk menyinggung, terlihat ingin tampil, atau tidak percaya,” jelas Adi. “Tidak apa, kami sangat terima kasih atas niat baik Bapak-bapak sekalian,” balas Nana.

Beberapa jam berlalu, menjelang jam 3 sore, paket bantuan Tzu Chi telah tiba di Posko Kodam. Barang-barang yang akan disumbangkan dibongkar dari dalam truk, kemudian Adi secara simbolis menyerahkan paket bantuan Tzu Chi berupa 200 buah selimut dan 200 buah handuk kepada pihak Kodam Jaya. Inilah satu-satunya cara yang bisa dilakukan untuk menyalurkan bantuan, setelah usaha untuk memberikan langsung bantuan ke tangan korban menjadi tidak mungkin karena keadaan. Meski tidak dapat langsung menyerahkan bantuan ke tangan korban, tetapi niat baik, usaha, dan perhatian telah dilaksanakn oleh insan-insan Tzu Chi dengan hati yang lapang dan penuh keikhlasan.

 

Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia
Telp. (021) - 6016332, Fax. (021) - 6016334
Copyright © 2005 TzuChi.or.id