Peta Situs | Komunitas Tzu Chi | Links  
Tentang Kami | Berita Tzu Chi | Misi & Visi | Cara Berpartisipasi | Jadwal Kegiatan | Inspirasi | Kantor Penghubung | Kata Perenungan
Berita Tzu Chi
 Amal
  Kesehatan
 Pendidikan
 Budaya Kemanusiaan
 Lingkungan
 Berita Lain
 Foto Peristiwa
Pesan Master
Tanpa mengerjakan sesuatu setiap hari adalah pemborosan kehidupan manusia, aktif dan berguna bagi masyarakat adalah penciptaan kehidupan manusia.
-- Master Cheng Yen  
Lihat Pesan Lainnya
Lain - lain
 Tzu Chi E-Cards
 Tzu Chi Wallpaper
 Tzu Chi Songs
 Tzu Chi Souvenir
 Hubungi Kami
 Forum Tzu Chi

 
中文繁體
Tanggal : 18/01/2009

Pemberkahan Akhir Tahun 2008

Menerima dengan Hati Seluas Samudera

                                                                      artikel: Himawan Susanto & foto: Anand Yahya, Roann, Stanis

Foto

* Dengan hati seluas samudera, Dewi Susanti bercerita kepada undangan pemberkahan akhir tahun Tzu Chi mengenai masa lalunya yang sangat membenci sang papa hingga akhirnya ia tersadarkan oleh buku Sanubari Teduh.

Hendaknya kita menyadari, mensyukuri, dan membalas budi orangtua.
(Master Cheng Yen)


Sore itu, 18 Januari 2009, aula RSKB Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, Jakarta Barat seketika sunyi senyap. Para undangan yang terdiri dari relawan Tzu Chi dan masyarakat umum yang hadir dalam pemberkahan akhir tahun Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia pun tertegun terdiam. Di antara mereka ada yang terdiam dan merenung. Bahkan tak sedikit yang kemudian menyeka bulir-bulir air mata saat menyimak sharing Dewi Susanti (Chen Mei-fong). Sore itu, Dewi yang kini telah menjadi relawan Tzu Chi mencurahkan isi hatinya.

Sebuah Kisah di Masa Lalu
Sejak kecil Dewi hidup hanya bersama ibundanya. Sang ayah meninggalkannya saat berusia 5 tahun. Hanya ibunda tercinta yang terus bersamanya. Hutang yang menumpuk dan rumah yang belum selesai dibangun adalah warisan yang ditinggalkan untuk mereka saat itu. Agar dapat bertahan hidup, ibundanya berjualan baju batik. Tak lama, sepucuk surat pun datang yang mengabarkan bahwa sang ayah telah menikah lagi. Sang bunda yang membaca surat itu kemudian membakar surat dan barang-barang milik ayahnya. Sang bunda lalu menggadaikan rumah mereka di Riau dan pergi merantau ke Batam. Dewi yang anak tunggal lalu dititipkan ke tantenya. Di sana Dewi diperlakukan seperti pembantu. Dewi pun kemudian akhirnya memilih kembali menempati rumahnya setelah lulus SMP seorang diri. Namun, adik bapaknya yang baru menikah kemudian tinggal bersamanya. Pasangan muda ini juga memperlakukan Dewi dengan buruk. Dewi yang telah berhenti sekolah dan telah bekerja harus memberikan setengah dari uang gajinya yang sebesar Rp 80 ribu per bulan karena diminta pamannya. Uang itu untuk membantu pamannya, jika tidak diberikan mereka, suami-istri tersebut bertengkar. Maklum penghasilan sang paman tidak pernah tetap. Masalah keuangan sering jadi alasan pertengkaran mereka. Semua pengalaman ini membuat Dewi semakin membenci sang ayah, apalagi jika dibilang ia mirip dengan ayahnya.

Saat Dewi telah menikah, suatu kali sang ayah datang menemuinya di tahun 2002. Meski saat itu masih dapat mengenalinya, ia pura-pura tak mengenalnya. Ia berkata bahwa ia dibesarkan tanpa kehadiran seorang papa. Sang papa yang mendengar jawaban itu kemudian hanya terdiam dan melangkah pergi. Itu adalah kesempatan satu-satunya sejak ia ditinggalkan sang ayah saat ia berusia 5 tahun. Rasa benci dan dendam yang telah terpelihara sejak lama membuat Dewi tidak bisa menerima nasehat keluarga dan suaminya. Dalam hidup Dewi, seolah tak ada lagi yang layak dipanggil “ayah”. Sebenarnya saat itu ia tidak ingin begitu namun ia berpikir semua itu sudah terlambat. “Yang saya butuhkan adalah kasih sayang. Sudah lebih dari 30 tahun ini saya tidak pernah merasakan pelukan seorang papa terhadap saya. Susahnya seperti apa,” ujar Dewi terisak-isak.

 

Ket: - Kebencian Dewi terhadap sang papa dimulai ketika sang papa meninggalkannya dan ibunya tanpa mau menafkahi lagi.
         (kiri)

     - Nazarudin, papa Dewi menyadari Dewi tidak bersalah walaupun tidak mau menganggapnya sebagai ayah, melainkan
         dirinya yang bersalah karena telah menelantarkan Dewi dan ibundanya. (kanan)

Memutus Belenggu Kebencian
“Suatu saat saya menonton DAAI TV di rumah teman. Segera saya mencari siarannya di televisi rumah,” ujar Dewi mula-mula. Ia menaruh hati saat itu karena DAAI TV sedang menyiarkan drama kisah nyata Acua. “DAAI TV isinya menceritakan bagaimana berbuat baik kepada orang lain,” tambah Dewi menerangkan. Dari DAAI TV pula, ia lalu mengetahui keberadaan Jing Si Book & Café. Di sinilah ia akhirnya menemukan buku-buku yang dapat memberinya ketenteraman di dalam hati. Saat itu pula ia kemudian bergabung menjadi relawan Tzu Chi.

“Jika kita menerima karma buruk dari kehidupan lampau kita dengan sukacita, maka beban kita akan menjadi lebih ringan. Meskipun akibat karma buruk yang disebabkan oleh kesalahan lampau kita sangatlah lama, kita dapat mengakhirinya jauh lebih cepat jika kita menanggungnya dengan senang hati.” Dewi tertegun saat membaca kata perenungan dalam bab 10 buku Sanubari Teduh Jilid Kedua itu. Saat ia menyimak buku tersebut, tiba-tiba ia teringat papanya yang sangat ia benci selama 25 tahun ini. “Tiba-tiba ia ingin telepon papanya walau tak memiliki no-nya. Tidak tahu kenapa,” lanjutnya.

“Waktu saya baca buku itu, sedikit demi sedikit sudah merasa maafin dia (papa –red). Muncul rasa kangen di hati,” ungkapnya. Jauh sebelum ia membaca buku Sanubari Teduh, sang tante sebenarnya telah menasehati Dewi untuk memaafkan papanya. Namun saat itu ia masih belum bisa memaafkan sang papa. Bahkan ia mengancam tante, saudara, dan seluruh kerabatnya untuk tidak memberitahukan nomor teleponnya. Berkat kesadaran itu ia pun lalu mencari nomor telepon papanya. Saat pertama kali menelepon papanya, ia hanya dapat mengatakan kata “maaf” tanpa ada kata papa di dalamnya. “Kata ‘papa’ masih terasa asing di telinga saya,” ujarnya.

 

Ket: - Kini, Nazarudin dapat bernafas lega. Kebencian Dewi kepadanya yang telah meninggalkannya saat berusia 5 tahun kini
          perlahan sirna dan hilang tak membekas.

Untuk sharing ini, Dewi awalnya juga tidak berani namun sebagai seorang anak yang berbakti kepada orangtua dan sebagai seorang relawan Tzu Chi, ia menyadari dan berkeinginan hal ini pun dapat dilakukan oleh mereka di luar sana yang hingga kini masih membenci orangtua ataupun orang di sekitar mereka. “Kalau ada kesempatan maafkanlah orang yang dibenci, dan papa saya adalah orang yang sangat saya benci selama ini,” terangnya.

“Jangan seperti saya yang membenci papa saya, cepatlah maafkan mereka. Memaafkan orangtua sangat bahagia,” anjurnya kepada para undangan. Dewi juga mengatakan setelah ia dapat memaafkan papanya, rasanya laksana melepaskan batu yang mengganjal di dada. “Tidak cemas lagi dan tidak merasa hidup ini ada kekurangan ataupun tidak sempurna,” ungkapnya penuh kebahagiaan.

Sebuah Pertemuan Ayah dan Anak
Sore itu, kebahagiaan pun menyeruak saat Nazarudin (Ciu Liong), papa Dewi tercinta datang dari Padang menemuinya. “Maafin Mei-fong ya, Pa,” itulah kata-kata yang segera meluncur dari bibir Dewi seraya diiringi isak tangis dan air mata. Kepada para undangan Ciu Liong mengucapkan terima kasih kepada semuanya. “Sebenarnya saya malu karena telah meninggalkan mereka. Namun, walaupun bagaimana ia tetap anak saya,” ujarnya.

 

Ket: - Beberapa undangan juga membawa celengan bambu, dan menyerahkan hasil menabung mereka sehari-hari saat
         pemberkahan akhir tahun. (kiri)

     - Selain memperoleh angpau, semua undangan yang hadir juga memperoleh suvenir berupa buku agenda Tzu Chi
         tahun 2009. (kanan)

Saat kami mewawancarai Ciu Long dan Dewi, Cui Liong menuturkan bahwa ketika Dewi meneleponnya, rasanya seperti satu hari tak makan tapi rasanya kenyang. “Apalagi bisa ketemu sama dia. Kalau perasaan saya Dewi tak bersalah. Saya yang salah. Ia tak tahu apa-apa saat ia kecil. Saya harus minta maaf kepada anak saya,” ungkapnya penuh penyesalan. “Pokoknya hati ini gembira dan senang banget. Kegembiraan yang sulit dikatakan. Ke depannya saya berharap hubungan kami makin dekat,” lanjut Cui Liong.

Saat ini sang mama memang belum mengetahui bahwa Dewi telah bertemu dengan papanya. Meski begitu Dewi akan mempertemukan mereka satu saat nanti walau masing-masing kini telah memiliki keluarga masing-masing. Ia yakin di pertemuan nanti mereka akan bisa saling memaafkan. “(Saat ini) belum berani, harus lihat dulu kondisi dan menunggu saat yang tepat,” tutur Dewi mengakhiri wawancara.

Berita Terkait :
       - Lebih Giat Lagi Berbuat Kebajikan (18/01/2009)
       - Cahaya Kehidupan itu Kini Telah Bersinar Kembali | 人生道路今有明確的方向 (18/01/2009)

 

Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia
Telp. (021) - 6016332, Fax. (021) - 6016334
Copyright © 2005 TzuChi.or.id