Peta Situs | Komunitas Tzu Chi | Links  
Tentang Kami | Berita Tzu Chi | Misi & Visi | Cara Berpartisipasi | Jadwal Kegiatan | Inspirasi | Kantor Penghubung | Kata Perenungan
Berita Tzu Chi
 Amal
 Kesehatan
 Pendidikan
 Budaya Kemanusiaan
 Lingkungan
 Berita Lain
 Foto Peristiwa
Pesan Master
Tanpa mengerjakan sesuatu setiap hari adalah pemborosan kehidupan manusia, aktif dan berguna bagi masyarakat adalah penciptaan kehidupan manusia.
-- Master Cheng Yen  
Lihat Pesan Lainnya
Lain - lain
 Tzu Chi E-Cards
 Tzu Chi Wallpaper
 Tzu Chi Songs
 Tzu Chi Souvenir
 Hubungi Kami
 Forum Tzu Chi

 

Tanggal : 03/02/2009


Kisah Budi Salim

Kue Berkah

                                                                                           artikel & foto: Hadi Pranoto

Foto

* Sepulang sekolah, Budi Salim menjajakan bakpau dagangannya. Hasil penjualan bakpau ini sebagian digunakan untuk membantu orangtua, uang saku, dan juga menyumbang Tzu Chi lewat celengan bambunya.

“Kweku..., kweku...” pekik Budi Salim nyaring. Kweku adalah istilah lain untuk bakpau, makanan khas Tionghoa. Meski masih terlihat agak sulit membuka lebar-lebar mulutnya, suara Budi membelah kesunyian pelosok-pelosok gang sempit di sekitar rumahnya, kawasan Pekojan, Jakarta Barat. Belum sampai 10 menit berjalan, seorang anak kecil merengek meminta dibelikan. “Satu aja, yang cokelat,” kata si ibu dan segera memberikan bakpau pada anaknya. Wajah Budi pun mendadak cerah, selembar uang ribuan itu langsung berpindah tangan ke saku celananya.


Perjalanan Budi pun kembali dilanjutkan. Nampan aluminium berisi 30 bakpau itu pun berkurang satu isinya. Keluar dari mulut gang, sekelompok pria memanggil Budi. Kali ini cukup banyak yang terjual, 5 buah bakpau. Uang 5 ribuan pun kembali menyesaki kantung celana Budi. Kali ini salah satu deret nampan itu terlihat kosong, sedikit meringankan sekaligus menyemangati bocah berumur 9 tahun yang pernah terkena tumor di pipinya ini. Bahkan akibat penyakitnya itu pula, Budi akhirnya telat sekolah dan kini baru duduk di kelas 1 Sekolah Dasar (SD), sementara teman-teman sebayanya kebanyakan sudah duduk di bangku kelas 3 SD.

Laku 7 buah bakpau, tidak membuat Budi langsung puas. Ia kembali menyusuri jalan-jalan di perkampungan padat penduduk itu. Sudah paham rutenya, tak berapa lama Budi yang bercita-cita menjadi seorang dokter ini sudah berada di muka jalan raya. Di sini Budi mesti ekstra hati-hati berjalan maupun menyeberang. Tujuan akhir ia berdagang tak lain sekolahnya sendiri, SDN 03 Tambora, Jakarta Barat. “Di sini lakunya banyak. Orangtua murid dan guru juga pada beli,” kata Budi beralasan.

 

Ket: - Relawan Tzu Chi, Filan dan Lulu sedang memberi semangat dan nasihat kepada Budi Salim. Budi yang dulu pernah
         terkena tumor di pipinya, kini bisa beraktivitas dan ceria seperti anak-anak lainnya. Budi sudah menjalani 3 kali
         operasi yang pengobatannya dibantu Tzu Chi. (kiri)

     - Sebagai wujud rasa syukurnya atas bantuan yang diterimanya, Budi Salim menyisihkan sebagian penghasilannya dari
         berdagang kue ke dalam celengan bambu Tzu Chi. (kanan)

Mengambil posisi di salah satu anak tangga sekolah, Budi segera menaruh dagangannya. Beberapa siswa dan siswi berseragam olahraga menghampirinya. Kocek Budi pun bertambah. Bosan menunggu, Budi pun berinisiatif menghampiri murid-murid SMP yang sedang bermain bola. Satu-dua bakpau pun terjual, sambil ia menuju kantin SMP Negeri 63 yang masih berada dalam satu lokasi untuk menjajakan dagangannya. Kali ini cukup banyak yang terjual, seorang siswi SMP membeli 5 buah bakpau. “Kasihan aja ngeliatnya, masih kecil dah harus nyari duit,” kata Yenes si pembeli. Menurut siswi kelas 3 SMP ini, “Tapi saya salut juga sih, masih kecil dah mau bantu orangtua, saya aja belum tentu bisa.”

Untuk Tzu Chi, Mama, Tabungan, dan Uang Saku
Pasca 3 kali operasi tahun 2008 –4 Desember 2007, 11 Desember 2007, dan 21 Februari 2008–, kini wajah Budi terlihat normal seperti anak-anak lainnya. Beberapa jahitan panjang masih terlihat jelas di antara sudut garis antara rahang mulut dan pipinya. Namun itu tidak menjadikannya rendah diri, tapi justru memicunya untuk berbuat sesuatu yang dapat menolong orang lain, seperti dirinya yang pernah mendapat bantuan dari Tzu Chi. Kini Budi hanya perlu menjalani operasi pemasangan plat di rahangnya. “Sekarang sudah cakep. Lebih bagus lagi, hatinya juga cakep. Kalau cakep wajahnya, tapi hatinya nggak baik, percuma saja,” kata Lulu, relawan Tzu Chi yang mengunjunginya. Selasa, 3 Februari 2009, tiga orang relawan Tzu Chi, yakni Lulu, Filan, dan Chandra Dhamali datang mengunjungi sekaligus memantau perkembangan Budi, baik fisik maupun mentalnya. Inilah yang membedakan Tzu Chi dengan organisasi kemanusiaan lainnya, bukan hanya menyembuhkan pasien dari derita penyakit, tapi turut membangkitkan semangat dan harapan hidup mereka agar dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik.

 

Ket: - Budi tengah bersiap berdagang keliling dari rumahnya. Saat itu juga Chandra Dharmali tengah mengunjungi tempat
         tinggalnya. Relawan Tzu Chi terus memberi perhatian kepada para keluarga pasien penerima bantuan Tzu Chi. (kiri)

     - Dengan penuh semangat, Budi Salim menjajakan dagangannya. Satu kue bakpau seharga Rp 1.000,-. Siang itu Budi
         membawa 30 kue bakpau. (kanan)

Sepulang dari sekolah pukul 10 pagi, Budi bergegas mengganti seragam sekolahnya dengan pakaian sehari-hari di rumah. Waktu itu jarum jam masih menunjukkan pukul 10.15. Jarak dari sekolah sampai ke rumah memang hanya memakan waktu antara 10-15 menit. Sehari-hari Budi diantar dan dijemput oleh Wawa, ibunya. “Kalau nggak diantar takut nyeberangnya di jalan,” kata Wawa. Menunggu waktu sambil menonton TV, Budi punya jadwal rutin setiap hari. Dua jam lagi, Budi akan bersiap mengambil bakpau dagangannya dari rumah tetangga yang tinggal tak jauh dari tempat itu. “Dari sananya ambil 800 rupiah, Budi jual seribu,” terang Wawa mewakili putranya. Meski dibilang dagang kecil-kecilan mengisi waktu, tapi hasil yang didapat lumayan besar. Dalam sehari, Budi sanggup menjual 20–50 bakpau. “Kalau lagi ramai, bisa dua kali dagang, siang sama sore,” kata Budi. Hanya sekali dalam seminggu Budi tidak berjualan, pada hari Minggu.

 

Ket: - Gang demi gang disusuri Budi untuk menjual kuenya. Dari satu kue yang terjual, Budi memperoleh untung Rp 200,-.
         (kiri)

     - Dengan ramah Budi melayani pembeli kuenya. Ada 3 macam rasa bakpau dagangan Budi, cokelat, kacang hijau, dan
         kentang. (kanan)

Dengan sistem bagi hasil, Budi lebih leluasa berdagang. Selain tak memerlukan modal, jika dagangan tersisa, Budi pun tak perlu menombok. Jika 50 bakpau yang dibawanya terjual habis, ia bisa mengantungi uang sebesar Rp 10 ribu. Bahkan jika nasib baik berpihak padanya, Budi yang dulu sempat minder jika bertatap muka dengan orang ini bisa memperoleh Rp 15 ribu. Lim Kim Siong, ayahnya maupun Wawa mengaku tak pernah menyuruh putra bungsu mereka ini untuk berjualan ataupun mencari uang sendiri. “Ini keinginannya sendiri,” aku Lim Kim Siong yang sehari-hari bekerja di vihara sebagai tukang masak dan bersih-bersih ini.

Menurut bapak 6 anak ini, ia justru bangga dan terharu dengan keinginan Budi berdagang ini. Terlebih dari sebagian penghasilannya, Budi menyisihkan untuk memasukkan ke dalam celengan bambu untuk disumbangkan kepada Tzu Chi. Dengan rendah hati, Budi beralasan, “Karena Budi dah dibantu (Tzu Chi), Budi juga mau bantu orang.” Pendapatannya ini dibagi untuk mama, Tzu Chi, dan uang jajannya sendiri. Mendengar hal ini, Lulu menyarankan agar Budi juga menabung untuk masa depannya, khususnya untuk melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi. “Uangnya dibagi empat aja. Buat Budi jajan seribu, Tzu Chi seribu, mama 5 ribu, dan untuk tabungan sekolah Budi 5 ribu,” anjur Lulu.

 

Ket: - Cukup jauh Budi berjalan menjajakan dagangannya hingga ke wilayah Tambora, Jakarta Barat. Di sini Budi mesti
         ekstra hati-hati mengingat banyak kendaraan yang melintas. (kiri)

     - Budi tengah menunggu pembeli di lapangan olahraga sekolahnya, SDN 03 Tambora, Jakarta Barat. Selain sekolah dasar,
         gedung ini juga menyatu dengan SMPN 63 dan SMAN 19 Jakarta. (kanan)

Beramal dalam Bentuk Lain
Seolah tak mau kalah dengan putranya, Lim Kim Siong juga mencoba berdana di Tzu Chi dengan mengumpulkan sampah-sampah daur ulang di rumahnya. “Setiap dua minggu sekali diambil relawan Tzu Chi,” kata Lim. Kebetulan di vihara tempat kerjanya banyak terdapat botol-botol bekas minuman dan minyak pemujaan yang tidak terpakai. “Kalau kebetulan lihat di jalan ada botol-botol atau plastik bekas, ya saya pungut juga,” kata Lim sembari tersenyum. Ia mengaku tidak malu melakukan hal itu, tetapi justru bangga karena turut menjaga kelestarian alam. Selain itu, menurut Lim, “Daur ulang ini bisa untuk membantu orang juga. Tadinya kita kepikir barang-barang seperti ini kan sayang juga kalau dibuang, kebetulan di vihara banyak juga botol-botol bekas.”

 

Ket: - Budi tengah menghitung uang hasil penjualan kuenya siang itu. Dari pukul 12.00 - 13.00, Budi sudah menjual lebih
         dari 15 kue. (kiri)

     - Yenes, siswi SMPN 63 turut membeli kue dagangan Budi. Yenes merasa salut dengan Budi yang di usia yang masih
         kecil sudah mau dan tidak malu untuk berjualan untuk meringankan beban orangtuanya. (kanan)

Banyak hal yang membuat akhirnya keluarga Budi menjadi begitu peduli untuk membantu sesama. Mereka, Lim Kim Siong dan Wawa khususnya merasa sangat bersyukur putra mereka bisa memperoleh bantuan pengobatan dari Tzu Chi. “Senang Budi dah sembuh, nggak tersiksa lagi. Tadinya rumah ini dah mau digadein buat berobat,” kata Lim lirih. Wawa menimpali, “Kalau nggak dibantu Tzu Chi, mungkin rumah ini dah kelepas (dijual –red).” Sebagai orangtua, mereka berharap agar Budi bisa belajar dari pengalaman hidupnya sendiri. Meski tak ada yang mengajari dan menyuruh, Budi rela berbagi dari sebagian penghasilannya untuk membantu orang lain.

Berita Terkait :
       - Keyakinan untuk Sembuh (2008/03/30)

 

Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia
Telp. (021) - 6016332, Fax. (021) - 6016334
Copyright © 2005 TzuChi.or.id