Peta Situs | Komunitas Tzu Chi | Links  
Tentang Kami | Berita Tzu Chi | Misi & Visi | Cara Berpartisipasi | Jadwal Kegiatan | Inspirasi | Kantor Penghubung | Kata Perenungan
Berita Tzu Chi
 Amal
 Kesehatan
 Pendidikan
 Budaya Kemanusiaan
 Lingkungan
 Berita Lain
 Foto Peristiwa
Pesan Master
Tanpa mengerjakan sesuatu setiap hari adalah pemborosan kehidupan manusia, aktif dan berguna bagi masyarakat adalah penciptaan kehidupan manusia.
-- Master Cheng Yen  
Lihat Pesan Lainnya
Lain - lain
 Tzu Chi E-Cards
 Tzu Chi Wallpaper
 Tzu Chi Songs
 Tzu Chi Souvenir
 Hubungi Kami
 Forum Tzu Chi

 
Tanggal : 24/02/2009

Kunjungan Kasih Amir

Semangat Juang Bapak Tujuh Orang Anak

                                                                         artikel & foto: Veronika

Foto

* Bagi Wati, para relawan Tzu Chi adalah tempat untuk berbagi. "Seperti memiliki keluarga baru," tegas Wati tentang arti kehadiran relawan bagi dirinya.

Allahuakbar..... Allahuakbar.....

Suara azan Subuh kian berkumandang. Mendengar ”panggilan” tersebut, Amir segera membuka mata, dan mengakhiri mimpinya. Setelah menyelesaikan salah satu rukun Islam (salat Subuh), Amir yang sudah terbiasa bangun pukul 04.00 ini, mulai menuruni anak tangga Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi Muara Angke, menuju kebun mungil milik warga blok Kelapa. “Habis shalat, biasanya Bapak langsung turun dan menyiram tanaman,” ucap Salbiah (44), istrinya.


Tanaman yang ditanam dan dirawat oleh Amir diperoleh dari tempatnya bekerja. Salbiah menjelaskan, “Sejak dulu Bapak memang suka sama tanaman. Tanaman-tanaman yang ditanam Bapak di kebun bawah itu, Bapak dapat dari Komplek Blok 10, Muara Angke, Jakarta Utara. Karena di sana bapak juga bertugas bersihin taman, jadi bapak sering membawa tanaman yang berlebih atau tidak terpakai ke rumah.”

Sudah hampir 4 tahun, Amir dan keluarganya menempati rumah No 3C, blok Kelapa A2, Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi Muara Angke, Jakarta Utara. Jauh berbeda dengan tempat tinggalnya dulu, Salbiah bersyukur bisa meninggalkan rumah kumuhnya di bantaran Kali Adem, dan menempati sebuah rumah sederhana layak huni. “Dulu kami tinggal di atas bantaran kali. Untuk mandi dan mencuci kami pakai air sungai yang kotor itu. Biar bening, biasanya kami campurkan kaporit ke dalamnya,” ungkap Salbiah.

Salbiah mengaku, sekarang kesehatan keluarganya jauh lebih baik, meskipun kemiskinan yang dulu memaksa ia dan keluarganya tinggal dibantaran kali, masih terus membayangi kehidupan mereka hingga sekarang. “Gali lobang tutup lobang Mbak, yang penting sekarang anak-anak bisa makan dan sekolah itu sudah cukup,” ucap Salbiah, menjelaskan kondisi perekonomian keluarganya.

 

Ket: - Tidak hanya bantuan pengobatan, para relawan Tzu Chi juga melakukan pendampingan terhadap Amir dan keluarga.
         (kiri)
       - Setiap hari, Amir selalu meluangkan waktu untuk mengurus tanamannya di sebuah kebun mungil di Perumahan Cinta
         Kasih Muara Angke, Jakarta Utara (kanan)

Bantuan Pengobatan
Di antara ketujuh buah hati Amir dan Salbiah, hanya Harwati yang saat ini membantu keuangan keluarga. Tidak lama setelah lulus SMP, Wati, pangilan akrabnya, sudah mulai bekerja demi meringankan beban orangtuanya. “Wati tidak meneruskan sekolah, karena waktu pendaftaran sekolah untuk SMA, kami terkena gusuran dan kesulitan uang. Tidak lama setelah itu, akhirnya Wati bekerja di sebuah restoran yang tidak jauh dari rumah. Tapi setelah kecelakaan motor, dia pindah kerja di Mangga Dua Square,” jelas Amir.

Kondisi kaki Harwati yang tidak sekuat dulu, membuat Amir dan istrinya meminta Harwati mencari pekerjaan yang tidak terlalu berat. “Alhamdullilah, dia sekarang bekerja di toko es cream dari Korea. Pekerjaannya pun tidak terlalu berat, hanya menjaga stan di mal,” ungkap Amir senang.

Kecelakaan tabrak lari itu terjadi pada bulan September 2007. Tulang paha sebelah kanan gadis berumur 23 tahun ini patah, dan dengan uang tabungan seadanya, Amir membawa Harwati ke pengobatan alternatif di daerah Pasar Rumput, Manggarai, Jakarta Selatan. Setelah dua bulan berjalan, Harwati pun akhirnya mulai bisa berjalan dengan menggunakan tongkat.

“Waktu itu Yayasan Buddha Tzu Chi melakukan kontrol kepada seluruh penghuni Perumahan Cinta Kasih. Setelah melihat tongkat Wati dan mendengarkan kesulitan keluarga Amir, akhirnya para relawan menawarkan bantuan pengobatan kepada Wati ,” jelas Menny Thalib, salah satu relawan yang menuturkan awal jalinan jodoh Tzu Chi dengan keluarga Amir.

Setelah melakukan survei dan meeting, akhirnya pihak Tzu Chi memutuskan untuk memberikan bantuan kesehatan kepada Wati dan Amir, yang saat itu juga tengah sakit. “Saat itu prioritas utamanya adalah pengobatan Wati. Setelah beberapa kali pemeriksaan, dokter yang menangani Wati menawarkan untuk melakukan operasi pemasangan pen (alat bantu untuk menyambung tulang yang patah-red),” jelas Menny.

Awalnya Wati menyetujui operasi pemasangan pen tersebut, namun dengan pertimbangan waktu pemulihan yang mencapai sekitar satu tahun, membuat gadis manis ini mengurungkan niatnya. “Kalau satu tahun saya harus istirahat, lalu yang akan bantu Bapak siapa?” ucap Wati lirih. Akhirnya Wati pun tidak jadi dioperasi, namun ia hanya melakukan pengobatan jalan dan terapi. “Saat itu, dokter Lutfi, yang menangani Wati memang tidak memaksakan untuk melakukan operasi, itu hanya sebuah pilihan saja, dan akhirnya pilihan membantu orangtua yang dipilih Wati,” tambah Tan Soei Tjoe, salah satu relawan yang juga aktif mendampingi keluarga Amir bangga.

Tidak lama setelah Wati kembali ke rumah, giliran Amir yang medapatkan bantuan pengobatan. Dengan ditemani beberapa relawan Tzu Chi, Amir diajak ke Rumah Sakit Khusus Bedah (RSKB) Cinta Kasih Tzu Chi, Cengkareng, Jakarta Barat untuk memeriksakan penyakit batuk dan sesak nafas yang sudah lama dideritanya. Setelah menjalani beberapa pemeriksaan, akhirnya Amir dinyatakan mengidap Tuberculosis (TBC). Setelah tahu Amir terkena TBC, para relawan langsung menyarankan untuk menjalani pengobatan secara rutin di RSKB Cinta Kasih.

 

Ket: - Bersama rekannya, setiap hari Amir harus mengambil sampah seberat lebih kurang 50 kilogram di komplek
         perumahan Muara Karang Blok 10, Jakarta Utara. (kiri)
       - Berteman dengan teriknya matahari dan bau sampah, Amir yang tengah menjalani pengobatan TB, tetap bersemangat
         mencari nafkah untuk membiayai istri dan ketujuh orang anaknya. (kanan)

Semangat itu Harus Ada
Mengidap penyakit TBC tidak menjadi penghalang bagi Amir untuk terus mencari nafkah bagi keluarganya. Sebelum bekerja menjadi petugas kebersihan di Komplek Blok 10, Amir berprofesi sebagai nelayan. “Sejak tubuh saya tidak kuat melawan dingin, saya mulai beralih menjadi petugas kebersihan,” tutur Amir, yang mengaku sudah lebih kurang 15 tahun menjalani profesi sebagai petugas kebersihan.

Untuk menuju tempatnya bekerja, setiap hari Amir berangkat dari rumah pukul 06.30 WIB dengan menggunakan sepeda. Sesampainya di sana, ditemani seorang teman, Amir mulai mengambil sampah. “Setiap hari sekitar 50 kilogram sampah yang harus saya ambil,” ucap Amir.

Tidak hanya itu, setelah sejenak beristirahat, Amir harus meneruskan tugasnya, mengurus taman, dan menyapu jalan. “Kalau tidak begini, bagaimana anak-anak saya bisa makan dan sekolah. Saya juga mau bilang terima kasih kepada Tzu Chi, karena tidak hanya pengobatan penyakit saya, setiap bulannya Tzu Chi juga memberi bantuan sembako seperti beras, minyak goreng, gula, dan mi instan,” jelas Amir.

Saking semangat memenuhi kebutuhan rumah tangganya, Amir terkadang tidak peduli dengan kondisi tubuhnya sendiri. “Bulan Agustus kemarin, saya sempat masuk rumah sakit selama 5 hari karena terlalu lelah bekerja,” jelas Amir yang mengaku tidak rutin memeriksakan penyakitnya karena pekerjaan yang tidak mungkin ditinggalkannya.

“Kalau Bapak check up, dan tidak masuk bekerja gaji Bapak yang hanya 500.000 per bulan harus dipotong 50.000. Makanya Bapak milih tidak berobat, daripada harus dipotong gajinya,” jelas Wati terbata.

Semangat berjuang tidak hanya diperlihatkan oleh Amir, sang istri Salbiah dan Wati, anaknya, juga turut membantu pria kelahiran Makasar, Sulawesi Selatan ini mencari nafkah. “Dari gaji saya (Rp 700.000-Red), gaji bapak, dan penghasilan ibu mencuci baju, bisa memenuhi kebutuhan kami. Alhamdulilah, tidak pernah kami tidak makan,” tutur Wati sambil menahan air matanya

Wati juga mengaku menunda berumah tangga karena prihatin dengan keadaan orangtuanya. “Tidak mungkin saya menikah, siapa lagi yang membantu Bapak? Sekarang saja rasanya saya ingin sekali menyuruh Bapak berhenti bekerja. Kalau sudah liat Bapak kambuh, rasanya sedih sekali.”

 

Ket: - Semangat berjuang sudah ditanamkan Amir kepada anak-anaknya sejak kecil. Tidak hanya belajar, Amir juga
         mengajak anak-anaknya untuk turut bersumbangsih dengan menyisihkan uang jajan mereka ke dalam celengan
         bambu. (kiri)
       - Untuk membantu perekonomian keluarga, Wati yang hanya lulusan SMP rela meninggalkan pendidikannya, dan
         memilih tidak melakukan operasi pemasangan pen agar tetap bisa bekerja untuk membantu keluarga. (kanan)

Menghadapi beratnya kesulitan hidup, Amir dan keluarga tidak pernah menyerah. Mereka yakin untuk tetap bertahan. “Saya sempat takut untuk mati. Bukan karena tidak bisa melihat dunia lagi, tapi takut meninggalkan istri dan anak-anak saya dalam kesusahan,” tegasnya.

Oleh sebab itu, setiap hari Amir selalu membakar semangat berjuang, dengan menjadi teladan yang baik dalam keluarganya. Begitu pula dengan Wati, meskipun ia tidak bisa meneruskan pendidikannya, Wati selalu memberikan dukungan kepada adik-adiknya untuk terus bersekolah. “Adik-adik saya harus terus sekolah,” tekad Wati.

Di antara empat anak Amir yang bersekolah, Ernawati kini bersekolah di SMK Cinta Kasih Tzu Chi. Wati menjelaskan, “Semenjak sekolah di sana, Erna berubah. Dia menjadi lebih rajin dan bersemangat untuk belajar, karena selalu memperoleh dukungan dari guru-guru di sana.”

Sehabis pulang sekolah pun, Erna juga meluangkan waktunya untuk mengajar di Sekolah Minggu, yang merupakan sekolah terbuka gratis untuk anak-anak di Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi. Bibit cinta kasih keluarga Amir telah tumbuh dan bersemi. Ini terlihat dari kepedulian anak-anak Amir terhadap pendidikan. Tidak hanya itu, sebuah celengan bambu yang diberikan keluarga Amir di dalam kegiatan Buka Puasa Bersama kepada Tzu Chi juga menjadi saksi nyata, indahnya kebersamaan. “Semoga dengan uang ini, bisa membantu saudara kita yang lain,” ucap Wati, penuh harap.

 

Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia
Telp. (021) - 6016332, Fax. (021) - 6016334
Copyright © 2005 TzuChi.or.id