Peta Situs | Komunitas Tzu Chi | Links  
Tentang Kami | Berita Tzu Chi | Misi & Visi | Cara Berpartisipasi | Jadwal Kegiatan | Inspirasi | Kantor Penghubung | Kata Perenungan
Berita Tzu Chi
 Amal
 Kesehatan
 Pendidikan
 Budaya Kemanusiaan
 Lingkungan
 Berita Lain
 Foto Peristiwa
Pesan Master
Tanpa mengerjakan sesuatu setiap hari adalah pemborosan kehidupan manusia, aktif dan berguna bagi masyarakat adalah penciptaan kehidupan manusia.
-- Master Cheng Yen  
Lihat Pesan Lainnya
Lain - lain
 Tzu Chi E-Cards
 Tzu Chi Wallpaper
 Tzu Chi Songs
 Tzu Chi Souvenir
 Hubungi Kami
 Forum Tzu Chi

 
Tanggal : 18/03/2009

Kunjungan Kasih

Bakti untuk Mama

                                                                                                                      artikel & foto: Apriyanto

Foto

* Alex dengan senang saat menyambut kedatangan relawan Tzu Chi. Karena terkesan dengan bantuan dan kepedulian relawan Tzu Chi, kini Alex, ayah dan juga kakaknya bergabung menjadi relawan Tzu Chi.

Rumah itu terletak di pinggir jalan kecil yang lebarnya tidak lebih dari tiga meter, beralamat di Teluk Gong Timur No. 12 C RT 004/RW 009, Jakarta Utara. Posisinya berdiri memanjang searah dengan jalan raya. Di sisi sebelah kirinya tumbuh pohon belimbing sayur dengan dahannya yang cukup rindang menaungi sebagian rumah. Cat putih yang melapisi dinding rumah terlihat pudar dan mengelupas di sana-sini. Pada beberapa bagian ditemukan retakan-retakan pada struktur betonnya, juga jendela dan pintunya semua terlihat lusuh dan pudar. Atapnya yang terbuat dari genteng juga terlihat tidak serasi karena bervariasikan dengan tambalan terpal dan plastik.

Menuju ke dalam rumah, tepat di depan pintu langsung terlihat meja kayu kecil tanpa kaki menempel di dinding. Di atasnya berisi hiolo (tempat dupa berbentuk mangkuk -red), dua buah lilin, satu gelas air mineral dan foto wanita paruh baya dengan ekspresi tersenyum. “Ini foto mamanya Alex,” terang Polin, relawan Tzu Chi. Kami langsung menangkupkan tangan dan memberi hormat kepada almarhumah di depan altarnya.

Langit-langit rumah dibiarkan tanpa eternit sehingga nampak kayu penyangga rumah yang bersilangan dan genteng-genteng yang berlumut. Di sebelah kiri dari pintu masuk ada dua buah sofa usang berukuran sedang berwarna krem terpojok di tepian tembok. Di balik tembok ini ada sebuah kamar yang merupakan kamar satu-satunya di rumah ini. Tumpukan kasur, jajaran lemari, dan barang-barang rumah tangga membuat jendela satu-satunya di kamar ini tidak dapat dibuka, sehingga kehangatan cahaya matahari pun tak lagi menyapa ruangan ini.

Sudah beberapa bulan ini Victor Taba (58), Sonia Kristin (25), dan Alex Guntoro (22) tersentuh dan ikut menjadi relawan Tzu Chi yang tergabung ke dalam Xie Li 6, wilayah He Qi Utara. “Bergabung di Tzu Chi adalah cara membalas budi kepada orang yang telah membantu dan berbakti kepada orangtua saya yang telah meninggal,” terang Alex.

Jalan yang Panjang
Bertolak dari Bangka tahun 1974, Victor Taba mulai menjejakkan kakinya di Jakarta untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Atas bantuan dari temannya, Victor bisa bekerja di pabrik plastik sebagai operator mesin. Setelah tiga tahun bekerja, Victor akhirnya mendapatkan pekerjaan baru yang lebih baik, yaitu sebagai staff gudang di salah satu perusahaan kontraktor. Namun kondisi perusahaan yang tidak stabil membuat Victor kembali mencari pekerjaan dan kemudian diterima sebagai mekanik pada sebuah bengkel dinamo. “Waktu itu kondisi perusahaan kontraktor sudah mulai goyang. Kebetulan dulu waktu masih di kontraktor saya sering servis ke bengkel dinamo, tanya-tanya ternyata bisa masuk di situ,” terang Victor.

 

Ket: - Melalui altar ini Victor, Sonia, dan Alex mengenang almarhum istri dan ibu mereka dengan panjatan doa. (kiri)
       - Di rumah berukuran 2,5 m x 11 m dengan satu kamar inilah mereka bertiga tinggal dengan penuh kesederhaan.
         (kanan)

Di bengkel ini Victor memberikan pengabdiannya selama 20 tahun, dan berhenti karena ia telah memasuki usia tua. Buah dari pengabdiannya, Victor mendapatkan sebuah rumah—yang kini ditempati—dan sebuah motor. Selama bekerja, di sinilah Victor bertemu dengan Boen Kim Siauw (mendiang istrinya -red) yang dikenalkan melalui temannya. Karena ada kecocokan akhirnya Victor memantapkan hati untuk melepas masa lajangnya dan kemudian menikah dengan dengan Kim Siauw pada tahun 1983. Tahun 1984, Kim Siauw melahirkan putri pertama mereka yang diberi nama Sonia Kristin, menyusul tiga tahun kemudian lahirlah anak kedua, Alex Guntoro.

Menyadari bertambahnya beban hidup dan kecilnya penghasilan Victor, istrinya turut membantu perekonomian keluarga dengan cara menjadi buruh harian di pabrik yang ada di sekitar rumahnya.

“Pekerjaannya boleh dibawa pulang, setelah selesai dikembalikan ke pabrik. Upahnya dihitung berdasarkan jumlah barang yang selesai dikerjakan, harganya pun sangat murah. Jadi untuk mengambilnya harus tunggu satu bulan. Dulu mama ngerjain kerjaan pabrik tanpa kenal waktu, karena waktu itu anak-anak masih sekolah. Baru berhenti setelah anak-anak sudah besar, sudah selesai sekolah dan bekerja,” kata Victor mengenang.

Di usianya yang ke-47, Kim Siauw mulai mengalami tanda-tanda sakit diabetes. “Dulu setiap mama habis dari kamar mandi suka ditemukan banyak semut hitam mengerubungi lantai kamar mandi. Kata tetangga, kalau air seni dikerubungi semut tandanya ada penyakit gula. Waktu itu kita belum terlalu mengerti jadi hanya dianggap biasa dan berobat ke dokter umum,” tutur Alex.

“Lama kelamaan badan mama semakin kurus dan tidak nafsu makan,” kata Sonia menambahkan. Hingga akhirnya pada tahun 2006, kondisi Kim Siauw terlihat sangat buruk. Keluarga memutuskan untuk membawanya ke Rumah Sakit Pluit, Jakarta Utara. Beberapa hari dirawat, akhirnya Kim Siauw diperbolehkan pulang untuk menjalani rawat jalan.

 

Ket: - Tumpukan kasur dan barang-barang rumah tangga membuat jendela satu-satunya di kamar ini tidak dapat dibuka.
         Kehangatan cahaya matahari pun tak lagi menyapa ruangan ini. (kiri)
       - Langit-langit dibiarkan tanpa eternit sehingga nampak kayu penyangga rumah yang bersilangan dan genteng-
         genteng yang mulai berlumut. (kanan)

Suatu hari, teman baik Alex, Cahyadi datang menjenguk. Melihat kondisi ibu temannya yang lemah dan perlu perhatian khusus, ia berkata kepada Alex, “Lex kamu tega kerja terus, sedangkan mama kamu sakit? Walau kamu (sekeluarga) semua kerja, kalau mama masuk rumah sakit itu biaya gede. Gaji kamu semua digabungin juga tidak cukup,” katanya kepada Alex tanpa ragu. Cahyadi memang telah menganggap keluarga Alex sebagai keluarganya sendiri, maka ia pun tak segan-segan untuk menasehati mereka. Tersentuh dengan nasehat temannya, maka Alex memutuskan berhenti bekerja dan memberikan semua waktunya untuk merawat mamanya. Selama dua tahun Alex merawat mamanya dan mengurusi rumah tangga keluarganya, mulai dari belanja sampai menyediakan hidangan di meja makan. Namun kondisi ibunya masih belum mengalami perbaikan. Sakit yang sering dialami oleh Kim Siauw adalah sakit kepala dan mati rasa pada kaki kirinya. Berbagai cara telah dicoba untuk menyembuhkannya, sampai akhirnya keluarga mencoba dengan pijakan refleksi dengan maksud untuk melancarkan peredaran darah pada kaki kirinya.

Bulan-bulan Kelabu
Pada bulan Mei 2006, sela-sela jari kaki kiri Kim Siauw terluka. “Setiap pagi aku kan selalu mijitin kaki mama, aku liat ada luka di sela-sela jarinya. Aku tanya tertusuk apa, mama bilang tidak tahu. Jadi aku simpulkan mungkin tertusuk pijakan batu refleksi. Aku langsung mengobatinya dengan obat luka dan alkohol, tetapi kira-kira dua hari kemudian justru kaki mama jadi bengkak,” jelas Alex.

Kaki kiri Kim Siauw menjadi besar satu setengah kalinya. Pada permukaan atas telapak kaki muncul gelembung-gelembung berisi cairan dan kulitnya yang tipis nampak semakin tipis. Gelembung cairan ini pecah dengan sendirinya setelah beberapa hari, dan seterusnya timbul lagi, kemudian pecah lagi. Menyadari kondisi ini dapat berakibat buruk, maka Alex membawa mamanya berobat ke Klinik Taman Permata Indah di daerah Teluk Gong, Jakarta Utara. Setelah berobat, luka di kaki kiri Kim Siauw memang mengering dan permukaan daging yang lembek sudah menjadi keras.

 

Ket: - Victor Taba (berkacamata), sangat terpukul ketika Boen Kim Siauw, istrinya meninggal dunia. Ia merasa seperti
         kehilangan sebagian dari jiwanya. (kiri)
       - Demi untuk memberi perhatian penuh pada orangtua, Alex rela berhenti kerja dan memberikan seluruh waktunya
         untuk merawat almarhum mamanya. (kanan)

Bahaya ternyata masih membayangi Kim Siauw. Tanpa disadari, kaki yang telah membaik terbentur ranjang tempat tidur dan langusung menyembulkan cairan kental berwarna putih keruh beraroma amis, meleleh perlahan-lahan membasahi telapak kaki. Bengkak di kaki Kim Siauw pun perlahan menyusut seiring keluarnya getah-getah berwarna putih keruh. Melihat kondisi ini, hati Alex kembali dilingkupi kecemasan. Hatinya mulai terguncang dan keyakinannya mulai tergoyahkan. “Mamah udah patah semangat. Mama suka mengatakan, ’kok Tuhan ngasih cobaan kaya gini, nggak berubah. Udah usaha kemana-mana, hutang, pinjam, kok.. kenapa? Sampai anak udah mati-matian. Kalau mau sembuh, sembuhlah kalau mau diambil ambillah’,” kenang Alex. Dalam bola matanya terlihat linangan air mata, membendung pada kantung bawah matanya.

Pengobatan kemudian dilanjutkan dengan membawa Kim Siauw ke Klinik Wira di daerah Ketapang, Jakarta Pusat. Sepuluh hari berobat di klinik ini pun tidak membuat Kim Siauw menjadi lebih baik, tapi justru kondisi fisiknya semakin menurun, badannya semakin lemah, dan nafsu makanya berkurang. Klinik Wira menyarankan kepada Alex agar mamanya dirawat ke rumah sakit. Tetapi keterbatasan biaya yang mereka miliki membuat saran ini dipertimbangkan kembali. Idan, seorang perawat di Klinik Wira bersimpati kepada keluarga Alex dan menyarankan mereka untuk membawanya ke Rumah Sakit Khusus Bedah (RSKB) Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, Jakarta barat. Atas informasi ini, malam harinya Alex bersama Sonia mendatangi RSKB Cinta Kasih Tzu Chi. Setelah mengetahui persyaratan untuk mendaptkan bantuan, Alex bersama Sonia langsung begegas pulang dan keesokan harinya melengkapi persyaratan administrasi yang dibutuhkan. Proses penyelesaian administrasi di kelurahan membutuhkan waktu yang cukup lama, sedangkan kondisi Kim Siauw semakin memburuk. Rasa khawatir mendorong Sonia kembali mengajukan permohonan bantuan pengobatan kepada Tzu Chi. Beberapa hari kemudian Sonia menerima telepon dari Santi, salah satu staff Tzu Chi Bagian Pengobatan yang menginformasikan bahwa akan ada relawan yang menyurvei. Tepat di hari yang dijanjikan, dua relawan Tzu Chi Poli dan Liwan datang menyurvei.

“Waktu itu kondisinya sudah parah, bau amis sudah tercium di dalam ruangan,” terang Liwan. Melihat kondisi yang genting, Liwan langsung memutuskan untuk membawa Kim Siauw ke RSKB Cinta Kasih Tzu Chi. “Mengenai prosedur, biar saya yang tanggung,” kata Liwan kala itu. Dengan cepat ambulan didatangkan dan Kim Siauw segera dilarikan ke RSKB Cinta Kasih. Satu bulan menjalani perawatan, kondisi Kim Siauw mengalami perbaikan. Luka di kakinya sudah kembali kering dan mulai tumbuh jaringan kulit baru. Victor, Sonia, dan Alex menyambutnya dengan rasa suka cita. “Sepertinya ada harapan baru buat mama,” kata Alex.

 

Ket: - "Sebagai anak selalu ingin memberikan yang terbaik untuk orangtua," tutur Sonia di hadapan relawan-relawan
         Tzu Chi. (kiri)
       - Menurut Polin, relawan Tzu Chi, Alex adalah anak yang berbakti kepada orangtuanya dan itu yang membuat hati para
         relawan tersentuh. (kanan)

Tapi takdir berkata lain. Di bulan kedua, kondisi Kim Siauw kembali mengalami penurunan. Kondisi tubuhnya melemah hingga kesadarannya menurun. Sampai pada tanggal 22 September 2008, tepat pukul 20.00 WIB, cairan berbuih menyembul dari sela-sela mulut Kim Siauw. Tim medis segera melakukan tindakan dengan menyedotnya. Setelah cairan dikeluarkan dari tubuhnya, kondisi pernafasan dan jantung menunjukkan denyut yang semakin lemah. Setengah jam kemudian, secara medis Kim Siauw dinyatakan meninggal dunia. Victor, Sonia, dan Alex terguncang dengan peristiwa ini, namun mereka tetap tabah dan mengikhlaskan kepergian orang yang dicintai. “Kita sudah rela melihat mama pergi. Daripada dipaksa, hidup mama jadi tambah menderita,” jelas Sonia. Dari balik bola matanya merembes air yang terselip di sela-sela mata, kemudian kembali mengering karena sapuan udara dan kedipan mata.

“Sejak mama meninggal, kami bertiga memang bertekad untuk bergabung di Tzu Chi. Kami tersentuh melihat pelayanan yang diberikan kepada kami, melayani dengan sungguh-sungguh dan tidak membeda-bedakan. Bergabung di Tzu Chi adalah cara membalas budi kepada orang yang telah membantu dan bakti kepada orangtua saya yang telah meninggal. Semoga dengan cara ini orangtua saya dapat terlahir kembali di alam yang lebih baik,” kata Alex dengan penuh harap.

Sejak bergabung di Tzu Chi, sedikitnya mereka telah mengikuti tiga kegiatan sosial Tzu Chi: penanaman pohon mangrove, pemilahan daur ulang, dan penempelan kata perenungan. Keteguhan hati, kasih sayang, dan pengorbanan Alex kepada orangtuanya patut untuk dijadikan contoh. Berbakti kepada orangtua tidaklah cukup dalam waktu singkat, tapi lebih merupakan sebuah perjalanan panjang yang di setiap langkahnya ada sujud dan cinta kepada orangtua.

 

Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia
Telp. (021) - 6016332, Fax. (021) - 6016334
Copyright © 2005 TzuChi.or.id