Peta Situs | Komunitas Tzu Chi | Links  
Tentang Kami | Berita Tzu Chi | Misi & Visi | Cara Berpartisipasi | Jadwal Kegiatan | Inspirasi


Inspirasi
 Kata-kata Perenungan
 Cerita / Dongeng
 Ajaran Buddha

 

 

 

 

 


 

 

 

 



Master Cheng Yen Bercerita

Satu Panah, Tiga Nyawa

Shan adalah seorang pemuda yang baik hati. Orang tuanya buta dan sudah tua. Agar kehidupan kedua orang tuanya lebih baik dan untuk menemukan tempat yang cocok untuk mengembangkan kehidupan spiritualnya, Shan membangun sebuah pondok beratap jerami di gunung dan mengajak mereka tinggal di sana. Ketiganya hidup dengan tenang dan bahagia.
Setiap hari, Shan membawa pulang buah-buahan dan sayuran untuk dimakan kedua orang tuanya. Selanjutnya, ia mengambil air dari sungai di dekat tempat tinggal mereka yang mengalir tiada henti serta menghidupi tumbuhan dan hewan yang tak terhitung banyaknya di hutan. Pada suatu hari, Shan seperti biasanya pergi ke sungai mengambil air. Dia memanjakan matanya dengan memandangi pepohonan dan padang rumput yang tumbuh subur di sekelilingnya, menghirup udara yang segar, dan mendengarkan kicauan burung yang merdu. Dia sangat mensyukuri berkah yang dihasilkan alam.

Setelah dia selesai mengisi kendi air dan hendak meninggalkan sungai, tiba-tiba sebuah panah melesat di udara dan menancap di dadanya. Dalam kebingungan, dia menyaksikan darah mengucur dari dadanya. Dia berteriak, “Siapa yang membunuh tiga orang dengan satu panah?”
Sekelompok orang muncul dari balik semak-semak. Sejurus kemudian, tampak seorang raja bersama rombongannya, sedang berusaha membidik seekor rusa. Akan tetapi, panah meleset dan justru mengenai Shan.

Sang raja menyesali kecerobohannya dan bergegas menghampiri pemuda itu dan menanyakan siapakah dirinya gerangan.

Shan menjawab dengan pelan, “Aku ke sini untuk mengambil air. Kedua orang tuaku buta dan membutuhkanku untuk merawat mereka. Jika aku mati, mereka akan mati juga!”

Mendengar hal ini, sang raja merasa sangat menyesali keteledorannya. Ia berjanji akan merawat luka pemuda tersebut dan menemui kedua orang tuanya. “Di mana kedua orang tuamu tinggal?” tanya sang raja.

Shan menceritakan padanya bahwa ia dan kedua orang tuanya tinggal di sebuah pondok beratap jerami tidak jauh dari tempat itu. “Tolong, katakan pada kedua orang tua saya bahwa ini adalah kecelakaan dan sampaikan bahwa aku tidak mampu lagi meneruskan merawat mereka...” Kemudian ia pingsan.

Dengan hati yang sangat sedih, sang raja akhirnya menemukan pondok beratap jerami tersebut. Sebelum ia membuka pintu, ia mendengar seorang tua berteriak dari dalam, “Apakah ada orang yang datang? Dari suaranya, nampaknya banyak orang di luar...”

Sang Raja menemukan satu hal bahwa meskipun mereka buta, mereka memiliki pendengaran yang sangat bagus dan dapat bergerak dengan gesit. Ia berkata, “Saya seorang raja dan saya datang ke sini untuk melihat kalian.”
Lelaki tua itu berkata dengan gembira, “Ini merupakan satu kehormatan! Silahkan masuk! Silahkan makan buah hasil petikan anak saya. Ia sedang pergi mengambil air dan sebentar lagi akan pulang.”

Sulit bagi sang raja untuk menceritakan kejadian tragis yang menimpa anak mereka. Dengan pelan, ia menceritakannya pada kedua orang tua tersebut bahwa ia tengah berburu dan tiba-tiba tanpa disengaja panahnya mengenai anak laki-laki mereka. “Aku takut ia meninggal,” kata sang raja.

Ucapan sang raja menjadikan hati kedua orang tua tersebut hancur. Mereka memohon pada sang raja untuk membawa mereka bertemu dengan anak lelaki mereka. “Kalaupun ia telah meninggal, kami tetap ingin menyentuh tubuhnya.”

Sang Raja lalu mengajak mereka menyusuri jalan kecil di tepi sungai. Lelaki tua tersebut menyentuh kepala anaknya sedangkan sang wanita tua menyentuh kakinya. Ketika tangan mereka menyentuh anak panah, mereka meratap, “Ya, Tuhan. Anak kami saleh dan baik pada kami...Mengapa Kau mencobanya dengan kemalangan? Jika Kau punya perasaan, hidupkanlah ia kembali.” Ucapan kedua orang tua tersebut menyentuh para dewa di surga. Perlahan, Shan sadar dan membuka matanya.

Sang Raja tercengang melihat apa yang terjadi. Dia bersumpah tak akan pernah pergi berburu lagi dan meminta kepada rakyat di kerajaannya untuk berbakti kepada orang tua seperti halnya Shan.

---------------------------------------------

Bakti anak adalah adalah kebajikan paling penting dan merupakan akar dari semua perbuatan baik. Jika kita ingin tetap berjalan di dalam Jalan Bodhisattva, kita harus berusaha keras menjalankan kebajikan dasar ini. Ketika kita mendengar perbuatan baik yang dilakukan orang lain, kita harus melakukan yang terbaik dengan berlaku bijak.

 


Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia
Telp. (021) - 3423455 , 3453463
Copyright © 2003 TzuChi.or.id