Satu Panah, Tiga Nyawa
Shan adalah seorang pemuda yang baik hati. Orang
tuanya buta dan sudah tua. Agar kehidupan kedua orang tuanya lebih
baik dan untuk menemukan tempat yang cocok untuk mengembangkan
kehidupan spiritualnya, Shan membangun sebuah pondok beratap jerami
di gunung dan mengajak mereka tinggal di sana. Ketiganya hidup
dengan tenang dan bahagia.
Setiap hari, Shan membawa pulang buah-buahan dan sayuran untuk
dimakan kedua orang tuanya. Selanjutnya, ia mengambil air dari
sungai di dekat tempat tinggal mereka yang mengalir tiada henti
serta menghidupi tumbuhan dan hewan yang tak terhitung banyaknya
di hutan. Pada suatu hari, Shan seperti biasanya pergi ke sungai
mengambil air. Dia memanjakan matanya dengan memandangi pepohonan
dan padang rumput yang tumbuh subur di sekelilingnya, menghirup
udara yang segar, dan mendengarkan kicauan burung yang merdu.
Dia sangat mensyukuri berkah yang dihasilkan alam.
Setelah dia selesai mengisi kendi air dan hendak meninggalkan
sungai, tiba-tiba sebuah panah melesat di udara dan menancap di
dadanya. Dalam kebingungan, dia menyaksikan darah mengucur dari
dadanya. Dia berteriak, “Siapa yang membunuh tiga orang
dengan satu panah?”
Sekelompok orang muncul dari balik semak-semak. Sejurus kemudian,
tampak seorang raja bersama rombongannya, sedang berusaha membidik
seekor rusa. Akan tetapi, panah meleset dan justru mengenai Shan.
Sang raja menyesali kecerobohannya dan bergegas menghampiri pemuda
itu dan menanyakan siapakah dirinya gerangan.
|
Shan menjawab dengan pelan, “Aku ke sini
untuk mengambil air. Kedua orang tuaku buta dan membutuhkanku
untuk merawat mereka. Jika aku mati, mereka akan mati juga!”
Mendengar hal ini, sang raja merasa sangat menyesali keteledorannya.
Ia berjanji akan merawat luka pemuda tersebut dan menemui kedua
orang tuanya. “Di mana kedua orang tuamu tinggal?”
tanya sang raja.
Shan menceritakan padanya bahwa ia dan kedua orang tuanya tinggal
di sebuah pondok beratap jerami tidak jauh dari tempat itu. “Tolong,
katakan pada kedua orang tua saya bahwa ini adalah kecelakaan
dan sampaikan bahwa aku tidak mampu lagi meneruskan merawat mereka...”
Kemudian ia pingsan.
Dengan hati yang sangat sedih, sang raja akhirnya
menemukan pondok beratap jerami tersebut. Sebelum ia membuka pintu,
ia mendengar seorang tua berteriak dari dalam, “Apakah ada
orang yang datang? Dari suaranya, nampaknya banyak orang di luar...”
Sang Raja menemukan satu hal bahwa meskipun mereka buta, mereka
memiliki pendengaran yang sangat bagus dan dapat bergerak dengan
gesit. Ia berkata, “Saya seorang raja dan saya datang ke
sini untuk melihat kalian.”
Lelaki tua itu berkata dengan gembira, “Ini merupakan satu
kehormatan! Silahkan masuk! Silahkan makan buah hasil petikan
anak saya. Ia sedang pergi mengambil air dan sebentar lagi akan
pulang.”
Sulit bagi sang raja untuk menceritakan kejadian tragis yang menimpa
anak mereka. Dengan pelan, ia menceritakannya pada kedua orang
tua tersebut bahwa ia tengah berburu dan tiba-tiba tanpa disengaja
panahnya mengenai anak laki-laki mereka. “Aku takut ia meninggal,”
kata sang raja.
Ucapan sang raja menjadikan hati kedua orang tua tersebut hancur.
Mereka memohon pada sang raja untuk membawa mereka bertemu dengan
anak lelaki mereka. “Kalaupun ia telah meninggal, kami tetap
ingin menyentuh tubuhnya.”
Sang Raja lalu mengajak mereka menyusuri jalan kecil di tepi sungai.
Lelaki tua tersebut menyentuh kepala anaknya sedangkan sang wanita
tua menyentuh kakinya. Ketika tangan mereka menyentuh anak panah,
mereka meratap, “Ya, Tuhan. Anak kami saleh dan baik pada
kami...Mengapa Kau mencobanya dengan kemalangan? Jika Kau punya
perasaan, hidupkanlah ia kembali.” Ucapan kedua orang tua
tersebut menyentuh para dewa di surga. Perlahan, Shan sadar dan
membuka matanya.
Sang Raja tercengang melihat apa yang terjadi. Dia bersumpah tak
akan pernah pergi berburu lagi dan meminta kepada rakyat di kerajaannya
untuk berbakti kepada orang tua seperti halnya Shan.
---------------------------------------------
Bakti anak adalah adalah kebajikan paling
penting dan merupakan akar dari semua perbuatan baik. Jika kita
ingin tetap berjalan di dalam Jalan Bodhisattva, kita harus berusaha
keras menjalankan kebajikan dasar ini. Ketika kita mendengar perbuatan
baik yang dilakukan orang lain, kita harus melakukan yang terbaik
dengan berlaku bijak.
|