Baksos
kesehatan ke-21
MEMBUKA KEMBALI JENDELA DUNIA
|
Ditemani satu-satunya anak laki-lakinya, Sofyan, Sopiah
(76 tahun) menempuh upaya untuk menghilangkan derita katarak di mata kirinya
yang selama puluhan tahun mengganggu keleluasaannya. Hari itu, ia duduk
di sebuah kursi roda mengikuti baksos kesehatan ke-21 Yayasan Buddha Tzu
Chi Indonesia di Rumah Sakit Khusus Bedah (RSKB) Tzu Chi Cengkareng, Jakarta
Barat. Selain dirinya, di Minggu yang cerah tanggal 2 Oktober 2004 itu
terdapat 104 pasien dari Jabotabek dan sekitarnya yang juga berobat. Semuanya
pengidap penyakit mata. Dokter yang berpartisipasi 14 orang.
Sambil sesekali terbatuk, Sopiah menuturkan bahwa selama ini kataraknya
tersebut sering merepotkan orang lain. Apalagi ditambah dengan rasa sakit
yang tidak pernah lepas dari pinggangnya. Ia menggunakan tongkat untuk
berjalan dan harus dituntun. Untuk sholat pun ia harus dituntun. Atau
kalau tidak, ia sholat dengan duduk di bangku. “Saya tak pernah
melewatkan sholat, selama tidak sakit parah,” ucap nenek yang berasal
dari Batu Ceper, Tangerang ini. Ia memiliki tujuh anak, dimana tiga diantaranya
sudah meninggal dunia. Semua anaknya telah berkeluarga dan memberinya
banyak cucu dan beberapa cicit. Sehari-hari ia hidup bersama Sofyan, sedangkan
suaminya telah meninggal dunia puluhan tahun lalu.
Menurut Sopiah, penyakitnya tersebut juga memaksa ia untuk menghentikan
aktivitasnya dalam mencari nafkah. Ketika masih bisa melihat dan belum
mengalami sakit pinggang, ia berjualan apa saja, dari gado-gado, kue,
hingga sayuran. Kini, hari-harinya hanya dihabiskan dengan berdiam diri
di rumah.
Selain mata kiri, mata kanannya sebelumnya juga mengidap katarak namun
sudah dioperasi enam tahun lalu di RS. Sitanala, Tangerang. Penglihatan
mata kirinya sudah kabur, sedangkan mata kanannya masih bisa untuk melihat
meskipun agak terbatas dan harus dibantu dengan kacamata. Kacamata yang
kini dikenakannya sudah usang dan ia ingin menggantinya, namun harganya
yang mencapai 200-an ribu rupiah memaksanya mengurungkan niat tersebut.
Di tengah kegundahannya, seorang relawan Tzu Chi menawarinya untuk mengikuti
baksos pengobatan mata. ”Saya senang sekali. Nggak enak nggak bisa
melihat. Lebih enak bisa melihat,” tuturnya dengan berbinar.
Berkali-kali ia mengeluarkan kata pujian terhadap kegiatan baksos kali
ini. Menurutnya, “Kalau berobat di rumah sakit umum, Masya Allah.
Saya bilang ke anak saya, kalau sakit mending mati di rumah daripada dibawa
ke rumah sakit umum. Sudah bayar, ngomong macam-macam lagi.”
Buku Pelajaran akan Akrab Kembali
|
Lain lagi cerita Sri Budiyah. Sejak menginjak lantai
dua RSKB. Tzu Chi, tempat baksos diadakan, ia terus-menerus menangis.
Dokter Thio Deasy yang berada di dekatnya segera menghampiri dan memeluknya
untuk menenangkannya. Namun tetap saja ia menangis.
Sri Budiyah datang bersama ibunya, Ibu Neah, dan ayahnya, Bapak Eno. Mereka
tinggal di bantaran Kali Angke, tepatnya di Kelurahan Kapuk Muara, Cengkareng,
Jakarta Barat. Seusai operasi, di ruang pemulihan tak henti-hentinya ia
meratap minta segera pulang. Padahal dua botol infus dan sebuah tabung
oksigen harus digunakan untuk membantu proses pemulihannya. “Sebentar
lagi,” ucap kedua orangtuanya mencoba menenangkannya.
Diyah, begitu dia biasa dipanggil, mengalami kebutaan pada mata kanannya
karena katarak sejak empat bulan lalu. Sementara mata kirinya samar-samar
untuk melihat. Sebelumnya, ia sering mengeluh pandangannya kabur. Hal
ini mengakibatkan prestasi belajarnya sangat buruk. Meski sudah berumur
11 tahun dan ukuran badannya sudah besar, ia masih duduk di kelas 2 SD.
“Setiap membaca, pandangannya selalu kabur. Jika disuruh belajar,
ia hanya bisa menangis karena takut. Mungkin karenanya, ia menjadi tidak
naik kelas,” cerita ayahnya yang sehari-hari bekerja sebagai buruh
bongkar muat di sebuah pergudangan. Diyah dua kali tidak naik kelas dan
sempat berhenti selama setahun. Sampai sekarang Diyah belum bisa membaca
dan tulisannya tak beraturan seperti cacing. Diyah sendiri jika menyadari
bahwa dirinya anak paling besar di kelasnya di SD Teluk Gong 06, ia merasa
malu.
Kini, ia tengah menunggu kesembuhan mata kanannya usai dioperasi. Tentu,
setelah sembuh nanti, jendela dunia akan kembali terbuka bagi Diyah melalui
buku-buku yang akan kembali bisa dibaca olehnya. “Mudah-mudahan
setelah matanya normal menjadi lebih bagus. Sudah bisa baca aja Alhamdulillah,”
harap ibunya.
• tim dokumentasi
Baksos Kesehatan ke-22
LEBIH BAIK MEMBERI DARIPADA MENERIMA
|
Tak beda dengan bulan-bulan sebelumnya, tanggal 11-12
Desember 2004, Tzu Chi kembali menggelar baksos kesehatan untuk yang ke-22.
Baksos kali ini dikhususkan untuk menangani operasi minor (bibir sumbing
dan benjolan), serta operasi mayor (hernia). Kerja sama 16 dokter bedah
dan 7 dokter anastesi selama dua hari ini berhasil melayani 54 pasien
minor, 22 pasien bibir sumbing, dan 196 pasien hernia.
Di poli minor, sebagian besar pasien bibir sumbing masih berusia muda.
Sebut saja Ridwan salah satunya yang datang dari Serang, Banten dengan
diantar oleh ayahnya. Ia duduk dengan tenang, menunggu giliran operasi
untuk menjahit bibirnya yang sumbing sejak lahir. Di wajah anak berusia
8 tahun ini sama sekali tidak terlintas kekhawatiran. Tampak jelas ia
adalah seorang anak yang penurut. Saat akan dibius pun, Ridwan dengan
berani mengikuti instruksi dokter. Tak ada rengekan ataupun penolakan.
Ayah Ridwan adalah seorang pekerja serabutan yang penghasilannya tidak
tetap. Menurut ayahnya, Ridwan tak pernah mengeluhkan cacat bawaan lahirnya
itu. Namun perbedaan itu menyebabkan ia sering menjadi obyek olok-olokan
teman bermainnya. Sebagai orang tua, sang ayah yang justru tersayat hatinya.
Tingginya Angka Pengidap Hernia
Jumlah pasien di poli mayor dua kali lipat dari poli minor. Di antaranya
adalah Ikbal Akbari yang baru berusia empat tahun. Sejak lahir sudah terlihat
kelainan pada pangkal pahanya, namun karena ayahnya adalah seorang pemotong
rumput yang berpenghasilan kecil, akhirnya ia hanya diobati secara tradisional.
“Biasanya cuma ditempeli daun-daun obat yang ditumbuk,” kata
Sugeng Surjadi, ayah Ikbal. Lain halnya dengan Hermanto (47 tahun). Tahun
2000 ia pernah menjalani operasi hernia, namun 5 bulan lalu, hernia timbul
kembali, yang kemudian diobatinya dalam baksos ini. Hermanto bekerja sebagai
mandor di sebuah percetakan di Kalideres, Jakarta.
Hernia cukup banyak diderita oleh masyarakat Indonesia. Menurut Dr. Iskandar
R.B., Sp.B., penyakit hernia yang juga dikenal dengan istilah ‘turun
bero’ ini disebabkan masuknya bagian organ/jaringan ke suatu lubang
abnormal. Salah satunya adalah masuknya usus/jaringan ke lubang lipatan
paha atau kantung kemaluan pria/ bibir kemaluan wanita, hingga terjadi
penonjolan. Hal ini dapat terjadi bila penderita sering mengejan, batuk
berjangka lama, atau karena kelainan bawaan.
Tonjolan yang timbul dapat muncul saat berdiri atau bekerja, kemudian
hilang saat tidur. Tapi ada juga yang tidak hilang dengan sendirinya karena
usus terperangkap dalam lubang sehingga penderita merasa kembung, tidak
dapat buang angin atau buang air besar. Jika tidak segera dibebaskan,
pembuluh darah pada usus itu terjepit sehingga usus mati dan isinya keluar
ke rongga perut. Infeksi yang terjadi dapat berakibat kematian.
Satu-satunya cara menyembuhkan hernia adalah dengan operasi untuk menutup
lubang abnormal. Pijatan yang sering dilakukan hanya dapat mengembalikan
usus yang terperangkap ke rongga perut. Namun ini juga mengandung resiko
usus menjadi robek.
Bukan untuk Laki-laki Saja
|
Hernia tidak hanya mengancam laki-laki, namun juga bisa
diderita oleh wanita. Misalnya Marintan (11 tahun), siswi kelas I SMP
yang tinggal di Jakarta. Ibunya, Merry (42 tahun) bercerita bahwa ia mendengar
tentang baksos Tzu Chi dari tetangganya yang telah diobati pada baksos
sebelumnya. Ayahnya tidak bekerja. Tanggung jawab untuk mencari nafkah
dipikul oleh sang ibu dengan bekerja serabutan. “Apa saja saya kerjakan.
Mulai dari bantu-bantu orang lain, mencuci, sudah saya alami semua,”
kata Merry. Meski ia sendiri bukan orang berkecukupan, Merry berprinsip
‘Lebih baik memberi daripada menerima’. Marintan yang baru
selesai dioperasi dengan lirih mengungkapkan, “Terima kasih dokter
yang sudah menyembuhkan saya. Semoga mereka diberkati atas kebaikan mereka
ini.”
Tzu Chi tidak hanya mengobati raga, namun juga berusaha mengobati jiwa.
Selama baksos, dibentuk tim pemerhati. Salah satu anggotanya adalah Sofian
(15 tahun), pasien Tzu Chi yang sempat berobat ke Taiwan. Tim pemerhati
membagikan kertas pesan pada pasien/keluarga agar mereka dapat menyampaikan
secara langsung perasaan dan rasa terima kasih pada para dokter.
|