DEMI ACEH, AIR MATA SAJA TAK CUKUP
|
Saya sedang menikmati sisa liburan Natal di Jawa Tengah,
ketika satu SMS dari seorang rekan Tim Dokumentasi mengabarkan, “Bencana
gempa dan tsunami terjadi di Aceh dan beberapa negara lain. Kabarnya
Aceh hancur lebur dan puluhan ribu tewas. Kamu harus ada di Jakarta
dan siapkan peralatan segera, sewaktu-waktu kita berangkat ke Aceh.”
Berita singkat yang saya terima 26 Desember 2004 tengah malam tersebut
tentu saja sangat mengganggu pikiran. Saya merasa bersalah, asyik menikmati
liburan hingga tak sempat menyimak berita penting.
Pagi-pagi betul saya menghadapi televisi berharap ada berita tentang
bencana Aceh. Betul saja, hampir semua stasiun televisi menayangkan
berita pagi tentang bencana besar di Aceh dan beberapa negara lain.
Namun di masa awal pascabencana ini belum ada satu stasiun televisi
pun yang memiliki rekaman gambar yang menampilkan dahsyatnya bencana
yang terjadi, hal ini disebabkan karena hampir semua sarana komunikasi
dari dan menuju Aceh lumpuh.
Senin pagi, 27 Desember 2004 di depan stasiun tempat saya biasa menunggu
kereta menuju kantor, saya memborong beberapa surat kabar yang menampilkan
bencana Aceh. Sebelumnya saya sempat bingung karena hampir seluruh surat
kabar yang terbit, bahkan surat kabar yang biasa menampilkan berita
gosip juga menyajikan bencana Aceh sebagai headline, dan tiba-tiba saja
semua orang seperti memiliki minat baca yang tinggi. Sepanjang perjalanan
nyaris semua orang di kereta membaca koran dan membicarakan tentang
bencana Aceh.
Di kantor Tzu Chi, kesibukan luar biasa sangat jelas terlihat. Telepon
tak henti-hentinya berdering masuk dari satu line ke line lainnya. Relawan
Tzu Chi juga berdatangan berkoordinasi satu dengan yang lain. Saya dan
banyak kawan lainnya, meski dorongan untuk berangkat ke lokasi bencana
begitu besar, namun hanya bisa menunggu arahan dan menyiapkan semua
peralatan yang dibutuhkan, serta terus mengikuti perkembangan peristiwa
bencana. Di televisi, kami saksikan catatan jumlah korban terus bertambah
dan gambaran tentang dahsyatnya bencana terpampang jelas di mata, membuat
dada kami merasa diguncang gempa yang sama.
28 Desember 2004, dengan semangat menghargai jiwa
manusia dan berusaha memberikan bantuan secepat mungkin, Tzu Chi mengirim
11 relawannya menuju Banda Aceh untuk melakukan survei. Pada masa awal
pascabencana, bukan persoalan yang mudah untuk terbang menuju Banda
Aceh, karena lalu lintas penerbangan dari dan menuju Bandara Sultan
Iskandar Muda, Banda Aceh menjadi sangat padat. Dari tim awal inilah
kami mendapatkan gambaran tentang situasi di Banda Aceh dan apa yang
dapat dilakukan oleh Tzu Chi untuk membantu para korban.
Setelah melalui rapat-rapat dan koordinasi yang menguras waktu dan pikiran,
dua hari kemudian saya sudah berada di tengah-tengah rombongan relawan
Tzu Chi yang bersiap menuju Banda Aceh melalui Medan. Pagi itu di terminal
keberangkatan Bandara Soekarno-Hatta, rombongan relawan Tzu Chi yang
berjumlah 25 orang menjadi pusat perhatian orang-orang karena logistik
yang kami bawa sangat banyak dan beratnya mencapai lebih dari satu ton!
Logistik yang kami bawa sebagian besar adalah peralatan medis dan obat-obatan
yang akan digunakan untuk membuka posko kesehatan di Banda Aceh. Beberapa
orang langsung menebak bahwa rombongan kami adalah rombongan relawan
yang hendak berangkat ke Banda Aceh. Di antara mereka juga ada yang
memberikan salam dan simpati kepada rombongan Tzu Chi. Di mata saya
ini adalah sebuah gambaran solidaritas yang sangat indah.
Di terminal keberangkatan, beberapa kali diumumkan bahwa pesawat menuju
Medan mengalami keterlambatan karena lalu lintas di Bandara Polonia
Medan juga terpengaruh kepadatannya. Menit-menit menunggu keberangkatan
pesawat adalah cengkeraman waktu yang menegangkan buat saya. Seorang
penumpang yang juga menuju Medan mengatakan bahwa ia telah menunggu
sejak semalam untuk dapat terbang ke Medan, rencananya ia akan menjemput
saudaranya yang mengungsi dari Banda Aceh ke Medan.
Pesawat yang rencananya berangkat jam 08.00 WIB baru dapat lepas landas
sekitar pukul 09.12 WIB. Duduk di sebelah saya adalah seorang gadis
yang mengenakan kerudung motif bunga-bunga coklat, yang tampak gelisah
sebentar-sebentar melemparkan pandangannya melalui kaca jendela pesawat.
Di tangannya tergenggam erat sapu tangan putih yang saya perhatikan
berkali-kali ia gunakan untuk menyeka air matanya. Saya hanya menebak,
keluarganya adalah korban bencana gempa dan tsunami di Aceh.
Beberapa menit setelah pesawat lepas landas akhirnya terbuka pembicaraan
di antara kami. Ia adalah seorang mahasiswi S2 sebuah perguruan tinggi
di Jogjakarta, dan benar saja tebakan saya bahwa keluarganya, ayah,
ibu, dan saudara-saudaranya yang tinggal di Banda Aceh menjadi korban
bencana. Meski dengan berurai air mata ia mampu menceritakan semuanya
dengan jelas. Sejenak saya hanya tertegun, tak tahu harus berbuat apa.
Dengan tanpa alasan, mungkin hanya untuk mencairkan suasana, saya tawarkan
sebotol air mineral yang belum saya buka, dan ia menerimanya dengan
senyum. Tanah Aceh jaraknya masih ribuan kilometer, tapi nafas kesedihan
akibat bencana itu sudah ada di depan mata.
Waktu telah lewat dari tengah hari, sekitar jam 13.00 WIB barulah pesawat
yang kami tumpangi dapat mendarat di Bandara Polonia Medan. Kesibukan
penanganan bencana sangat terlihat di sini. Maklumlah Medan adalah kota
tujuan yang aman bagi sebagian besar pengungsi dari Banda Aceh. Sambil
menunggu koordinasi dengan relawan Tzu Chi dari Medan mengenai teknis
keberangkatan ke Banda Aceh. Relawan Tzu Chi bergabung dengan beberapa
relawan lain yang memberikan bantuan darurat kepada para pengungsi yang
baru mendarat di Bandara Polonia Medan. Mereka memberikan air minum,
roti, bantuan medis, dan sandal jepit. Barang yang terakhir ini diberikan
karena banyaknya para pengungsi yang tidak lagi mengenakan alas kaki
ketika meninggalkan Banda Aceh.
Banyak di antara pengungsi datang dengan luka-luka di bagian tubuhnya.
Sebagian lagi datang dengan bingung tanpa sanak saudara, tanpa tujuan.
Tatapan mata yang kosong dari para pengungsi jadi pemandangan yang mudah
ditemui. Satu-satunya yang pasti mereka bawa hanyalah kesedihan, dan
itu menular dengan cepat di hati saya.
Hari menjelang senja, ketika waktu menunjukkan pukul 17.30, rombongan
Tzu Chi dengan menggunakan pesawat komersial jenis Fokker 50 bersiap
meninggalkan Medan. Kami melewati senja di atas pesawat. Langit berwarna
perak keemasan dan matahari yang redup disapu awan seharusnya jadi pemandangan
indah yang menentramkan, namun kami tak mampu menikmatinya karena perjalanan
ini adalah perjalanan menuju tanah bencana.
|
Penerbangan yang tak mampu dinikmati akhirnya berakhir
sekitar pukul 19.20 WIB. Ketika pesawat mendarat di Bandara Sultan Iskandar
Muda, Banda Aceh, hari telah gelap, namun penerangan di bandara masih
berfungsi. Pesawat hanya parkir di satu sudut landasan dan belum dapat
menurunkan muatannya. Selama menunggu, saya dan beberapa rekan berjalan
di sekitar bandara. Terminal keberangkatan dipadati oleh orang-orang
berwajah cemas yang hendak meninggalkan Banda Aceh. Di sudut yang lain
terdapat pemandangan yang tak lazim. Puluhan peti mati berbagai ukuran
ditumpuk, sebuah pemandangan yang menggelisahkan hati.
Lebih dari satu jam kemudian, setelah membongkar semua muatan dan memindahkannya
ke satu truk milik TNI, kami meninggalkan Bandara Sultan Iskandar Muda
menuju pos koordinasi Tzu Chi di Landasan Udara TNI AU Sultan Iskandar
Muda. Di kawasan ini telah berdiri puluhan tenda sukarelawan dari berbagai
negara. Setelah berkoordinasi dengan rekan kami, Budi Widjaja yang telah
banyak membuka jalur koordinasi dengan berbagai pihak, rombongan pun
beristirahat. Ini adalah malam pertama kami di tenda Posko Tzu Chi.
Pagi masih dingin dan embun masih lekat di rerumputan, namun relawan
Tzu Chi telah bersiap-siap melakukan aksi kemanusiaan bagi para korban
bencana gempa dan tsunami di Aceh. Truk-truk milik TNI dan truk lain
berjajar rapi dengan bak terbuka siap menampung berbagai macam barang
logistik yang akan didistribusikan kepada para pengungsi. Dengan tekun,
relawan Tzu Chi dibantu TNI dan relawan lain menaikkan satu persatu
barang berupa mi instan, air minum, biskuit, selimut, tenda, dan sebagainya
ke dalam truk. Mengharukan sekali melihat kerja keras para relawan bagian
logistik. Basah keringat di seluruh tubuh adalah hal yang biasa bagi
mereka.
|
Perjalanan perdana rombongan Tzu Chi adalah menuju
kamp pengungsi Pesantren Ruhul Islam Anak Bangsa, Desa Gue Gajah, Darul
Umarah, Aceh Besar. Sepanjang perjalanan, pemandangan yang kami lihat
kebanyakan adalah rumah, toko, atau gedung yang runtuh menyisakan puing-puing
yang berserakan. Sungai-sungai yang dulu dihiasi gemericik air, hanya
menyisakan tumpukan puing bercampur sampah, dan sangat mungkin di dalamnya
juga terkubur mayat-mayat korban bencana.
Kendaraan yang banyak melintas di Banda Aceh hanyalah truk-truk pengangkut
logistik, truk tentara, truk evakuasi mayat, dan kendaraan-kendaraan
relawan. Toko dan perkantoran tidak terlihat beraktivitas seperti biasanya.
Kebanyakan perkantoran atau masjid yang bangunannya kokoh dijadikan
sebagai pusat koordinasi penanganan bencana atau kamp pengungsi. Debu
beterbangan membentuk kabut tebal setiap kali kendaraan besar melintas
dan bau busuk dari tumpukan sampah atau mayat yang belum dievakuasi
di antara reruntuhan mengiringi perjalanan.
|
Setiap kamp pengungsi yang kami kunjungi menyajikan
suasana yang sama. Tenda-tenda darurat didirikan seadanya, terbatasnya
sarana air bersih, sampah yang tak terurus, berjangkitnya wabah penyakit
seperti diare, dan persoalan lain yang membuat kehidupan para pengungsi
sangat menyedihkan. Karena itulah sebagai langkah awal penanganan bencana,
Tzu Chi memprioritaskan distribusi bahan makanan, obat-obatan, dan kebutuhan
pokok lain serta dukungan tim medis yang menangani persoalan kesehatan
pengungsi. Wajah-wajah sedih dan putus asa mungkin sama banyaknya dengan
udara yang saya hirup setiap harinya.
Tim medis Tzu Chi yang memberikan pelayanan di RS. Tengku Fakinah juga
harus bekerja keras. Korban yang datang dengan berbagai macam kondisi
kesehatan yang memprihatinkan terus-menerus mengalir ke salah satu rumah
sakit yang masih dapat beroperasi di Banda Aceh ini. Karena daya tampung
yang terbatas, banyak pasien harus rela berbaring di lorong-lorong rumah
sakit. Kurangnya tenaga medis dan juga tenaga kebersihan menjadi problem
bagi pelayanan rumah sakit ini. Relawan Tzu Chi pun menyumbangkan tenaganya
untuk ikut serta membersihkan kotoran dan sampah.
Hari-hari berikutnya adalah hari-hari yang rutin bagi relawan Tzu Chi.
Bongkar muat di malam hari atau di pagi buta harus terus dilakukan.
Berkunjung dari satu kamp pengungsi ke kamp pengungsi lain dengan berdiri
di atas truk di antara tumpukan barang adalah hal biasa. Sengatan teriknya
matahari Aceh yang membakar kulit sudah seperti sahabat yang setia mengiringi
perjalanan. Dalam satu perjalanan, seorang teman mengatakan, “Panasnya
matahari yang kita rasakan setiap kali kita berjalan, itu sama sekali
tak sebanding dengan penderitaan hidup yang dialami rakyat Aceh.”
Ini bukan saatnya untuk mengeluhkan kesulitan-kesulitan kecil pada saat
kita berada di tengah-tengah kesengsaraan rakyat yang tertimpa bencana.
Setiap lewat satu hari, saya makin sadar bahwa perjuangan membangun
kembali bumi Aceh yang porak-poranda karena bencana adalah perjuangan
panjang yang berat. Perjuangan yang juga membutuhkan uluran tangan dan
ketulusan hati setiap insan. Kekuatan cinta kasih individu yang terpisah-pisah
bagai sebuah permainan puzzle harus disatukan menjadi kekuatan cinta
kasih bersama yang lebih dahsyat. Demi Aceh, jangan ada lagi yang bersedih
karena kita masih punya kekuatan, dan tetesan keringat kerja keras kita
lebih berarti daripada tetesan air mata. •