Peta Situs | Komunitas Tzu Chi | Links  
| Tentang Kami | Berita Tzu Chi | Misi & Visi |Cara Berpartisipasi | Jadwal Kegiatan | Inspirasi | Kantor Penghubung |Kata Perenungan |


EPISODE PANJANG PENGUNGSI ACEH

Apa yang paling dibutuhkan para korban gempa bumi dan tsunami di Aceh dan Sumatera Utara usai bencana berlalu? “Saya harus punya rumah untuk membesarkan anak-anak saya,” ucap Aminah. Ibu 45 tahun asal Banda Aceh yang telah menetap di Meulaboh selama setahun itu kini harus membesarkan 7 anaknya seorang diri. Suaminya hingga kini belum diketahui rimbanya karena tersapu tsunami.

Yang paling mendesak ia butuhkan adalah rumah. Dengan adanya rumah, ia akan lebih mudah melanjutkan kehidupan-nya, termasuk menyekolahkan anak-anaknya. “Yang terpenting adalah pendidikan anak-anak, harta benda belakangan,” tuturnya. Aminah kini tinggal di kamp pengungsi UNHCR (Komisi Tinggi PBB untuk Masalah Pengungsi) di Desa Lapang, Kecamatan Johan Pahlawan, Aceh Barat. Suaranya mewakili lebih dari 400 ribu warga Aceh yang tak bisa lagi menempati rumah mereka yang kini rata dengan tanah.

Layaknya bencana besar di tempat lain, gempa bumi dan tsunami di Aceh dan Sumatera Utara tanggal 26 Desember 2004 juga menyisakan sebuah masalah pelik: pengungsi. Derita Aceh dan Sumatera Utara yang kehilangan sekitar 110 ribu jiwa warganya belum berhenti. Kisah tentang pengungsi, terutama di Aceh, adalah episode panjang yang menguras pikiran dan tenaga. Kini mereka harus menjalani hari yang mungkin tidak pernah terlintas di pikiran mereka sebelumnya, menjadi pengungsi.

Kini, mereka tinggal di kamp pengungsi yang sumpek. Atau menumpang pada kerabat yang tidak terkena bencana. Ada juga yang pindah keluar dari Aceh.

Sejuta Masalah di Balik Tenda

Berlama-lama menumpang di rumah orang lain, meski di rumah kerabat bukanlah pilihan yang tepat. Lama-kelamaan mereka merasa sungkan karena membebani pemilik rumah. Alhasil, sebagian dari mereka kini bergabung di kamp-kamp pengungsi.

Kamp pengungsi sudah pasti bukan tempat yang nyaman untuk tinggal. Tiap kamp pengungsi memiliki persoalan yang beragam. Dari udara panas, buruknya sanitasi, ancaman wabah penyakit, hingga rasa bosan menjadi momok bagi para pengungsi. Suhu di Meulaboh pada siang hari bisa mencapai 38° Celcius dan suhu di dalam tenda bisa 5 derajat lebih panas. Tak mengherankan bila tenda-tenda yang banyak diminati pengungsi adalah tenda-tenda yang terbuka atau yang memiliki sirkulasi udara yang bagus.

Selain itu, banyak pengungsi yang dihinggapi rasa jenuh dengan kehidupan di tenda. “Ada kerinduan pada diri pengungsi akan bekas rumah mereka,” ungkap M. Ansari, Sekretaris Kecamatan Teunom, Kabupaten Aceh Jaya. Mata pencaharian para pengungsi yang mayoritas sebagai nelayan menyebabkan mereka tidak bisa hidup jauh dari laut meski amarah laut telah memporak-porandakan kehidupan mereka dan merenggut orang-orang yang mereka cintai, sedangkan kamp-kamp pengungsi terletak di daerah yang cukup jauh dari garis pantai.

Di sepanjang Simpang Langka, Kabupaten Nagan Raya hingga Kecamatan Meureubo, Kabupaten Aceh Barat misalnya, ratusan tenda berdiri di atas puing-puing rumah. Para pemilik rumah tersebut telah meninggalkan kamp pengungsi dan kini kembali ke rumah mereka, mencoba untuk merenovasinya kembali. Papan-papan kayu yang berserakan, mereka pergunakan. “Selain membangun kembali rumah, saya sembari berjualan kelontong kecil-kecilan. Hanya ini yang mampu saya lakukan,” tutur Mustar, pengungsi dari Meureubo.

Untunglah, pasokan makanan dan bahan logistik sudah cukup. “Bahan makanan mudah-mudahan cukup. Setiap minggu kami ada jatah beras, mi, dan lainnya,” tutur Boy Zulkarnaen, pengungsi asal Ujung Karang yang sekarang tinggal di kamp pengungsi di dekat Kompi Senapan C Batalion Infanteri 112 Meulaboh. Meski demikian, ia memilih bekerja sebagai buruh harian untuk memenuhi kebutuhannya. “Tidak mungkin hidup hanya mengandal-kan bantuan terus-menerus,” lanjutnya.

Menunggu Rumah Baru

Kini banyak pihak yang menawarkan bantuan tenda ataupun membangun tempat penampungan sementara. Sayangnya, tidak semua bantuan tersebut gratis. Bahkan beberapa di antaranya merupakan bantuan kredit lunak jangka panjang. Pemerintah sendiri terus berusaha untuk menyediakan tempat penampungan sementara bagi para pengungsi. Hingga pertengahan Februari 2005, telah dibangun sedikitnya 273 tempat penampungan.

Tzu Chi juga turut serta dalam program relokasi pengungsi. Dan bantuan ini murni alias tanpa memungut biaya. Perkampung-an tenda rencananya akan dibangun di Meulaboh, Teunom, dan Banda Aceh. Tempat yang dipilih Tzu Chi untuk membangun kampung tenda di Meulaboh adalah Desa Cot Seumereung dan Desa Reusak, keduanya di Kecamatan Samatiga. Di Desa Reusak direncanakan akan dibangun 500 tenda, sedangkan di Desa Cot Seumereung 250 tenda. Perkampungan tenda tersebut nantinya akan dilengkapi dengan fasilitas air bersih, MCK, dapur umum, penerangan, tempat bermain dan olah raga, serta fasilitas penunjang lain.

Lahan di Desa Cot Seumereung merupakan sebuah tanah lapang seluas sekitar 2,5 hektar, sedangkan di Desa Reusak sebelumnya merupakan hutan karet yang sudah tidak produktif. Selama lebih dari seminggu, para relawan dibantu warga setempat bekerja keras membabat hutan karet seluas 6 hektar tersebut. Alat berat pun dikerahkan. Dan kini hutan karet tersebut telah berubah menjadi tanah lapang dan tenda pun mulai didirikan.

Di Teunom, Aceh Jaya, perkampungan tenda sebanyak 130 tenda rencananya akan dibangun di sela-sela pohon kelapa sawit yang sudah tidak produktif seluas 8 hektar di Desa Alue Krung. Sedangkan di Banda Aceh rencananya sebanyak 2.500 tenda. Hingga kini lahan yang cocok masih dicari.

Program ini merupakan program jangka menengah, sedangkan untuk jangka panjang Tzu Chi berencana akan membangun rumah permanen bagi para pengungsi. Ini adalah proyek kemanusiaan skala besar. Mungkin ini termasuk salah satu proyek kemanusiaan terbesar yang pernah dilakukan Tzu Chi sejak berdiri 39 tahun lalu di Taiwan. Tentu, dana yang dibutuhkan juga tidaklah sedikit.

Menangani pengungsi bukanlah pekerjaan mudah. Harapan Aminah untuk membiayai pendidikan anak-anaknya tidak boleh terhenti di tengah jalan karena tidak adanya rumah. Padahal masih banyak Aminah-Aminah lain yang tetap memiliki semangat hidup menyala dan cita-cita yang besar. Nyanyian sendu yang ia lantunkan di tenda pengungsi akan berubah menjadi nyanyian suka cita bila kelak ia mendapatkan rumah baru, meski sederhana. Bila semua pengungsi Aceh sudah dapat bernyanyi dengan penuh suka cita, niscaya seluruh dunia akan turut bersuka cita pula.


 

Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia
Telp. (021) - 6016332, Fax. (021) - 6016334
Copyright © 2005 TzuChi.or.id