Kisah
Anda
SEDIKIT BICARA BANYAK KERJA
|
Saya berpartisipasi dalam kegiatan Tzu Chi sejak Mei
2003, tetapi sesungguhnya sudah mengenal Tzu Chi jauh sebelumnya. Ketika
itu, Ibu Yully Chandra tiap bulan datang ke rumah saya memungut iuran
amal. Saat datang berkunjung dan bertemu dengan anak perempuan kami, ia
senantiasa membujuk saya agar bergabung ke Tzu Chi. Namun karena kondisi
kesehatan tak menunjang, maka saya tidak yakin akan dapat memenuhi permintaan
tersebut. Bukan saja khawatir tak mampu memberi bantuan, malah sebaliknya
menambah beban para teman Tzu Chi.
Semua ini didasarkan pertimbangan atas kejadian yang terjadi pada akhir
tahun 1997. Waktu itu, mendadak pembuluh darah bagian sebelah kanan organ
otak saya mengalami pendarahan, sehingga saya terkena stroke. Kendati
berobat berbulan-bulan, sesudah sembuh tetap saja saya sukar berbicara
dan kaki kiri kurang tenaga, serasa lemas. Faktor inilah yang membuat
saya merasa pesimis; sampai pada suatu kesempatan, Hong Mao-hua yang sudah
terlebih dahulu berkecimpung dalam Tzu Chi, secara tulus memberikan dukungan
kepada saya. Mengingat hubungan kami begitu akrab dan sudah berjalan tiga
puluh atau malah empat puluh tahun, tentu saja menumbuhkan ketenangan
hati bagi istri serta anak-anak saya. Mereka berkesimpulan, dengan demikian
ada kawan pendamping selama bepergian.
Pertama kali, saya mengikuti pembagian kupon bagi beras di daerah Penjaringan,
Jakarta Utara. Saat itu, bersama dengan kepala regu, kami berkunjung dari
rumah ke rumah menyampaikan kupon. Menjelang tugas hampir selesai dikerjakan,
kepala saya terasa pening disertai kelelahan tak terhingga. Timbul firasat
buruk dalam benak, jangan-jangan ini suatu indikasi, bahwa keikutsertaan
saya dalam kegiatan amal Tzu Chi ini merupakan yang pertama sekaligus
juga terakhir kalinya. Syukurlah saat Ketua RT menyuruh kami istirahat
sejenak di rumahnya. Sehabis meneguk segelas teh manis, disusul kemudian
melanjutkan tugas yang belum selesai, keadaan dan tenaga serasa pulih
kembali. Kala itu senang bukan kepalang. Jelas saya masih sanggup memberi
sumbangsih kepada Tzu Chi!
Sepanjang mengikuti bakti sosial Tzu Chi, yang paling mengesankan ialah
acara kunjungan ke rumah pasien. Kami menyusuri perkampungan miskin, menjelajahi
pedesaan terpencil. Di situ kami menyaksikan kenyataan derita kehidupan
rakyat kalangan bawah. Gambaran kehidupan yang menyayat perasaan tersebut,
tak jarang mudah membangkitkan rasa pilu dan simpati, dan bersamaan itu
muncul pula gejolak welas asih dari lubuk hati yang paling dalam. Setiap
kali Tzu Chi mengantarkan seseorang berobat ke rumah sakit, lalu selang
beberapa lama sehat kembali, rasa bahagia yang terpancar dari air muka
mereka sungguh sukar dilukiskan. Justru kami yang turut terjun pada kegiatan
itu, ikut larut dalam suasana kegembiraan penuh syukur. Bahkan lebih dari
itu, memperkokoh rasa solidaritas, menebalkan tekad untuk meneruskan tugas
mulia.
Pengalaman paling berkesan lainnya adalah ketika menjadi relawan membantu
korban gempa dan tsunami di Aceh baru-baru ini. Tepat pada tahun baru,
1 Januari 2005, saya bersama He Zheng-xiong serta enam relawan tim konsumsi,
pagi buta jam 04.00 WIB menuju Bandara Halim Perdanakusuma. Dengan menggunakan
pesawat militer, lepas landas jam 07.45. Setelah menempuh penerbangan
empat jam lamanya, kami mendarat di Pangkalan TNI AU Sultan Iskandar Muda,
Banda Aceh. Didampingi beberapa anggota TNI, kami menuju Vihara Dharma
Bakti. Secara bersama-sama, kami mengevakuasi tujuh jenazah korban yang
ada di dalam vihara. Semua bangunan di pesisir pantai rata dengan tanah.
Daerah perdagangan yang dulu ramai kini lumpuh total. Di bawah puing reruntuhan
terdapat banyak mayat. Siapapun yang menyaksikan akan merinding bulu kuduknya.
Melihat situasi demikian, menyadarkan saya bahwa kehidupan ini memang
tidak kekal, penuh kefanaan.
Saya gemar memotret dan mengambil rekaman gambar. Sewaktu meliput upacara
peresmian Perumahan Cinta Kasih di Cengkareng, kebetulan sewaktu saya
akan membidik sasaran, bertemulah dengan Chen Su-ling, seorang relawan
dari Da Ai TV Taiwan. Dia menyarankan saya untuk dapat bergabung dalam
satu wadah. Saya langsung memberikan sedikit keterangan padanya, bahwa
saya adalah mantan penderita stroke, lagi pula usia sudah uzur, kiranya
tak tepat mengemban tugas demikian berat; akan tetapi sebaliknya mendapat
tanggapan lain darinya. Ia menjelaskan bahwa pamannya juga pernah mengalami
stroke, namun tak menjadi kendala, pokoknya pasti bisa! Kata "pasti
bisa" inilah yang memacu semangat saya.
Saya berpendapat, setiap insan Tzu Chi, terutama relawan dari kaum muda,
seyogyanya tidak segan memberi dorongan serta dukungan terhadap sesama,
agar dapat lebih membulatkan tekad dan terus mengayunkan langkah pada
jalan yang lurus. Saya akan selalu mengingat kata-kata Master Cheng Yen
yang menyebutkan "Bekerja merupakan tindakan yang benar". Walaupun
saya sudah tidak lancar bertutur kata, kiranya tak perlu dirisaukan lagi
kalau "Sedikit bicara banyak bekerja". Tzu Chi bagaikan sebuah
menara mercu suar, memandu serta menerangi arah perjalanan orang-orang
yang sesat langkah. Kini saya sudah mencapai usia 65 tahun, masih mau
dan berhasrat turut serta dalam kegiatan Tzu Chi. Semua ini merupakan
sebuah berkah bagi saya. •
Zheng Dao-ling, tinggal di Jakarta
|