Peta Situs | Komunitas Tzu Chi | Links  
| Tentang Kami | Berita Tzu Chi | Misi & Visi |Cara Berpartisipasi | Jadwal Kegiatan | Inspirasi | Kantor Penghubung |Kata Perenungan |


Kabar dari Kantor Penghubung

MAKASSAR : BERAS BISA HABIS TAPI CINTA KASIH TIDAK

Makassar, yang dulu dikenal sebagai Ujung Pandang merupakan kota tempat Kantor Penghubung Tzu Chi yang paling timur berada. Tanggal 18 Desember 2004 lalu, cinta kasih kembali berlabuh di kota ini. Menjelang akhir masa pembagian 50.000 ton beras cinta kasih yang sudah mulai dibagikan sejak tahun 2003 lalu, 1.000 ton beras dialokasikan untuk dibagikan pada masyarakat Makassar yang membutuhkan. Secara terperinci, 1.000 ton beras cinta kasih, diharapkan dapat mengisi piring nasi 50.000 KK yang tersebar di 14 titik sasaran.

Diawali pada tanggal 18 Desember 2004, pembagian perdana diberikan untuk warga Kecamatan Marisso yang mencakup 9 kelurahan. “Sejak hari Sabtu dan Minggu yang lalu, para relawan telah membagikan 2.808 kupon kepada warga Kecamatan Marisso yang dikenal kumuh. Ini berarti untuk tahap pertama kami akan membagikan 56.160 kg beras cinta kasih,” kata Frans Hemming, koordinator pembagian beras cinta kasih di Makassar.

Hari itu matahari bersinar cukup terik, meski pagi harinya hujan sempat turun. Dengan wajah memerah dan pakaian basah oleh peluh, para relawan membagi, memikul, dan mengantarkan 2.808 karung beras tersebut. Beberapa relawan yang membantu memikul beras tampak malu-malu menggandeng tangan ibu atau nenek penerima beras yang mereka bantu.

Warga penerima beras rata-rata merupakan buruh ikan atau buruh bangunan yang tidak memiliki penghasilan yang tetap, sebagian yang lain mencari nafkah dengan menarik becak. “Dalam sehari biasanya dapat 15.000-20.000 rupiah,” kata Asri, salah seorang penarik becak yang menerima beras cinta kasih. Jumlah ini harus ia cukupkan untuk menghidupi istri dan empat anaknya. Anaknya yang tertua baru berusia sekitar 14 tahun, dan terpaksa berhenti sekolah karena tidak ada biaya. Saat ini, berganti anak keduanya yang sedang bersekolah. Namun, tanpa adanya kesinambungan pendidikan, akankah harapan perbaikan nasib dapat terwujud?

Seorang penerima beras lain adalah seorang ibu yang bernama Sonna. Ia sudah menjanda selama 40 tahun. Sonna tinggal di sebuah bilik yang dindingnya terbuat dari triplek dan beratapkan seng. Di sana ia hidup seorang diri karena anaknya yang tunggal juga telah meninggal. Dalam kesendirian dan kemiskinan, saat itu ia sedang sakit. Sudah 4 hari ia tak dapat meninggalkan pembaringannya, namun karena mendapat bantuan beras cinta kasih, akhirnya ia memaksakan diri menuju tempat pembagian beras. Dikarenakan tubuh yang masih lemah, ia pingsan di tempat pembagian beras, dan akhirnya diantar pulang oleh relawan Tzu Chi. Sehari-harinya Ibu Sonna bekerja sebagai pencari kerang di tepi laut. Biliknya yang berukuran 2 m x 1,5 m hanya diisi dengan dipan tempat tidur dan sebuah rak kecil. Hawa di dalam bilik sangat lembab karena sinar matahari tidak dapat masuk ke dalam ruangan. Selain itu bau amis terus tercium sepanjang hari, karena lantai bilik yang belum dilapisi sering terendam air laut jika sedang pasang.

Kondisi serupa ini juga dialami oleh 3 orang janda yang tinggal di bilik di sebelah kiri kanan Sonna. Beras cinta kasih yang diterima oleh Sonna dan tetangganya suatu saat nanti mungkin akan habis, namun cinta kasih yang telah ditebarkan di Makassar akan terus bergulir.

SURABAYA : BERBAGI KASIH DENGAN PARSEL NATAL

“Hidup di dunia janganlah membedakan suku, agama, dan ras”, itulah filosofi Master Cheng Yen yang coba diterapkan oleh para relawan Yayasan Buddha Tzu Chi Surabaya. Suatu siang pada hari Kamis, 14 Desember 2004 sekitar pukul 14.30 WIB, 23 anak Yayasan Karunia yang beralamat di Bulak Rukem, berkunjung ke kantor Yayasan Buddha Tzu Chi di Komplek Andhika Plaza, Surabaya untuk merayakan Natal bersama. Mereka didampingi oleh 5 orang pengasuh.

Anak-anak yang mayoritas beragama Katolik ini dulunya adalah anak-anak yang semula tinggal Timor Timur. Setelah Timor Timur lepas dari Indonesia tahun 1998, mereka diekstradisi oleh pemerintahan Timor Leste pimpinan Xanana Gusmao. Mulanya mereka dibawa ke Lumajang oleh seorang suster, baru kemudian ditampung oleh Yayasan Karunia.

Acara diawali dengan doa yang dipimpin oleh Joel, salah seorang anak dari Yayasan Karunia. Tzu Chi Surabaya memberikan parsel yang berupa beras, biskuit, susu, dan makanan ringan lain untuk lebih memeriahkan perayaan Natal anak-anak ini. Selain memberikan parsel, Tzu Chi juga mengajarkan tentang budaya kehidupan sehari-hari. “Tata cara makan yang benar harus cuci tangan dulu, mengambil makanan pakai sumpit. Saat mengunyah mulut tak boleh berbunyi,” jelas Ibu Tong Ju. Kemudian Ibu Vinnie melanjutkan, “Cara mengangkat kursi pelan-pelan tak boleh bersuara. Tata aturan duduk harus berdiri di sebelah kiri lalu perlahan duduk, kaki lurus menyentuh tanah. Kalau berjalan kaki tak boleh menginjak tanah keras-keras.”

Acara berlanjut dengan pemutaran video kegiatan Tzu Chi di seluruh dunia. Kegiatan di bidang amal, pendidikan, kesehatan serta kebudayaan cukup menarik perhatian anak-anak tersebut. Mereka menonton televisi yang berbahasa Mandarin tapi dilengkapi dengan teks Indonesia ini dengan mimik muka yang serius.

Kebersamaan nampak saat generasi muda berbaur dengan generasi tua menyanyikan lagu berjudul Kuai Le Xiao Tian Di (Dunia yang Ceria-Red) secara bersama-sama. Tak mau ketinggalan dengan generasi tua, anak-anak menyanyikan lagu-lagu rohani. Diawali oleh Julio yang menyanyikan lagu Tuhan Yesus Setia, lalu disambung oleh Jose melantunkan lagu Tuhan Yesus Aku Berjanji dan ditutup oleh suara merdu Tito dengan lagu Bapa, Engkau Sungguh Baik.

Dengan mata berkaca-kaca dan nada haru, Ibu Tin, salah satu pengurus Yayasan Karunia mengungkapkan, “Terima kasih atas kepedulian Yayasan Buddha Tzu Chi pada kami yang berbeda kepercayaan, namun secara tulus membantu kami. Anak-anak kami memang butuh uluran tangan. Semoga Tuhan Yesus memberkati!”

Dalam pidato penutup, Ibu Melissa Tedjo justru memohon maaf karena lupa menghadiahkan pohon natal pada anak-anak. “Di Tzu Chi kita mengajarkan kejujuran, kesopanan, ketertiban dan kedisiplinan pada semua insan manusia. Kalau mau belajar boleh datang ke sini lagi,” ucapnya disertai senyuman.
• tzu chi surabaya

MEDAN : MENYAMBUNG ASA DI BATAS DERITA

Kasus terbaru yang ditangani oleh Tzu Chi Medan adalah kasus luka bakar seorang ibu rumah tangga di Kaban Jahe yang bernama Ulfa Dayanti Nasution (26 tahun).

Pada tanggal 1 Juli 2004 di pagi hari, Ulfa ingin memasak sarapan pagi untuk anaknya. pada saat dia mengisi minyak di kompor, ternyata terdapat sumbuh api di dalamnya. Kompor tersebut meledak dan lidah apin mengenai tubuh bagian depannya. Sebaskom air yang berada di dekatnya segera disiramkan ke tubuhnya.tetapi api tidak segara padam. Karena kesakitan, dia memukul-mukul badannya sendiri dan melompat-lompat sebelum akhirnya berguling ke lantai sambil berteriak histeris. Suami dan tetangganya segera membawa Ulfa ke rumah sakit terdekat.

Di rumah sakit, Ufa hanya ditangai seadanya saja oleh dokter dengan mengoleskan salep kebakaran biasa dan obat antibiotic. Selan beberapa hari, luka bakarnya bertambah parah dan mengalami infeksi. Dokter menganjurkan pada suamiya agar Ulfa diobati secara tradisional saja karena biaya pengobatan yang harus ditanggungnya sangat mahal.

Kondisi keuanganlah yang memaksa sang suami menuruti nasehat dokter. Lalu sesuai dengan informasi dari temennya, suami ulfa mengambil buah pinang kering dicampur dengan kopi dan gula, digiling sempai menjadi bubuk, lalu diadukan dengan minyak makan. Campuran ini kemudian dioleskan ke luka bakar Ulfa.

Akan tetapi, bukannya membaik, luka baker Ufa dari hari ke hari malah makin parah. Bernanah juga mengeluarkan bau busuk yang menyengat. Tampaknya nyawa Ulfa pun semakin terancam. Akhrinya, seorang dokter di Kaban Jahe mengajurkan Ulfa segara dibawa ke rumah sakit besar. Nyawanya di perkirakan tidak akan tertolong dalam 1-2 minggu ini karena infeksi.

Suamiya menajdi panic karena mereka tidak punya biaya. Ia meminta bantuan depada sanak family dan teman-teman, sambil mencari informasi jikalau ada yayasan social yang bersedia membantu mereka. Sebelum ada yayasan social yang mengunjungi mereka, tetap yayasan tersebut menolak setelah melihat kondisi Ulfa.

Saat sudah hamper putus asa, salah satu temennya menyarankan agar mereka menghubungi Yayasan Buddha Tzu Chi Medan. Saat mengadakan survey, relawan Tzu chi sangat tersentuh melihat kondisi pasien yang begitu memprihatinkan. Foto pasien diambil untuk ditanyakan ke dokter spesialis berapa kemungkiannya untuk sembuh.

Setelah dianalisa oleh dokter, kemungkinan ulfa untuk sembuh hanya 50%. Kasus ini pun dibawa ke forum rapat dan hasilnya Tzu Chi setuju untuk menangani kasus ini. Pada tanggal 24 Juli 2004, Ulfa dijemput dengan mobil ambulans dan dibawa ke RS. Martha Friska, Medan. Setalah melalu tujuh kali operasi, dalam waktu dua bulan, Ulfa sedang menjalani tahap pemuliahan dan kondisinya semakin membaik.


BANDUNG : PASRAH YANG MEMBAWA DERITA

Dalam rangka memperingati HUT Komando Pasukan Khas (Kopaskhas) TNI AU, pada tanggal 12 Oktober 2004, Yayasan Buddha Tzu Chi Bandung bekerja sama dengan TNI AU mengadakan baksos pengobatan di Desa Warnasari, Kecamatan Pengalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Secara geografis, Desa Warnasari terletak di sebelah selatan kota Bandung. Untuk sampai ke sana dibutuhkan setidaknya dua setengah jam melalui jalan darat. Karena letaknya yang agak terpencil, menurut pengamatan para relawan Tzu Chi Bandung, desa tersebut dapat dikategorikan sebagai desa minus dalam bidang ekonomi maupun pelayanan kesehatan.
Dalam baksos yang melibatkan 19 orang relawan Tzu Chi dan 16 dokter dari Tim Kopaskhas TNI AU tersebut, dilayani 5 orang pasien bibir sumbing, 578 pasien pengobatan umum, serta 16 orang anak yang mengikuti khitanan massal. Masyarakat sekitar sangat antusias mengikuti baksos ini, terbukti dengan banyaknya pasien yang datang berobat terutama di poli pengobatan umum. Baksos juga diikuti oleh beberapa pasien yang berasal dari luar Bandung.

Seorang pasien berusia 19 tahun menderita sumbing bibir luar berjumlah dua klip. Karena belum dapat ditangani dalam baksos tersebut, pasien yang berasal dari Indramayu ini direkomendasikan untuk datang ke Tzu Chi Jakarta dengan pertimbangan jarak tempuhnya lebih dekat.

Sementara itu bagian khitanan massal tak luput dari beberapa persoalan yang harus dihadapi. Pada awalnya, kegiatan khitanan massal rencananya akan diikuti tidak kurang dari 40 orang anak. Namun karena kendala ketidaksiapan anak serta minimnya dorongan dari para orang tua kepada anaknya, akhirnya jumlah anak yang mengikuti khitanan massal hanya 16 orang.

Diantara banyaknya pasien yang datang memeriksakan kesehatannya, terdapat Dudi yang berumur 2,5 bulan yang menderita kelainan pada leher dan mengalami sesak nafas. Setelah selesai kegiatan baksos, relawan Tzu Chi melakukan survei ke tempat tinggal Dudi di Cikalong Gunung Cepu. Perjalanan menuju ke sana hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit dari lokasi baksos. Rumah tinggal pasien berupa rumah panggung yang sangat sederhana dengan dinding papan kayu. Orang tuanya adalah buruh pemetik daun teh.

Pada kesempatan itu, selain dilakukan pendekatan ke orang tua Dudi, dilakukan juga pendekatan dengan melibatkan kepala desa dan tokoh masyarakat setempat. Hal tersebut dilakukan agar orang tua Dudi setuju mengirimkan anaknya ke rumah sakit di Bandung. Namun sayangnya orang tua pasien tetap keberatan jika anaknya di bawa ke Bandung. “Ah, abdi mah parantos pasrah tumarima (Ah, saya sudah pasrah menerimanya – Red),” kata ibu pasien. Pernyataan tersebut tentunya menjadi tantangan bagi insan Tzu Chi untuk mengubah pandangan masyarakat yang keliru yang menganggap manusia hanya bisa pasrah saja menerima penderitaan dan penyakit.
• tzu chi bandung

Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia
Telp. (021) - 6016332, Fax. (021) - 6016334
Copyright © 2005 TzuChi.or.id