KE MEULABOH DENGAN CINTA KASIH
|
Meski hampir seluruh Aceh dilanda bencana yang luar
biasa besar, kelompok separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tetap melancarkan
teror. Akibat akses mereka dengan dunia luar untuk mendapatkan suplai
logistik terputus, GAM beberapa kali merampok kendaraan yang mengangkut
bahan bantuan untuk korban bencana. Karenanya, ketika Tzu Chi mengirim
bantuan lewat jalur darat dari Medan ke Meulaboh, Aceh Barat, harus
dikawal tentara.
Tanggal 15 Januari 2005, sekitar pukul 8 malam, 27 relawan dengan mengguna-kan
11 truk dan 7 mobil meninggalkan Kantor Penghubung Tzu Chi Medan. Tzu
Chi datang ke Meulaboh menebar cinta kasih. Dan cinta kasih itu mewujud
dalam bentuk bantuan logistik, baksos kesehatan, beras cinta kasih,
dan kampung tenda yang rencananya berjumlah 750 tenda.
Di sela perjalanan, salah seorang tentara yang ikut mengawal bercerita
bahwa sehari sebelumnya di jalur menuju Meulaboh terjadi baku tembak
antara aparat TNI dengan GAM. Padahal jalur menuju ibu kota Kabupaten
Aceh Barat tersebut saat ini dipadati angkutan bantuan untuk korban
gempa dan tsunami.
|
Perjalanan tersebut adalah perjalanan yang melelahkan.
Di dekat Trumon, Aceh Selatan ketika matahari tepat berada di atas ubun-ubun
kami, suhu udara mencapai sekitar 37° Celcius, salah satu truk mengalami
kerusakan sehingga harus berhenti. Kami semua harus berhenti pula.
Sebuah tikungan di mana sisi kanannya adalah bukit yang ditumbuhi pepohonan
dan rumput liar yang lebat menjadi tempat kami berhenti. Tristanto,
seorang tentara yang mengawal rombongan menuturkan, “Mereka (GAM-Red)
paling suka medan seperti ini. Mereka bisa lihat kita, tapi kita tidak
bisa lihat mereka.” Di bahunya, senjata tipe SS 1 kaliber 5,56
buatan Pindad selalu tergantung dan siaga.
Ternyata, butuh waktu tidak sebentar untuk memperbaiki kerusakan. Untuk
mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, aparat menyisir ke atas
bukit. Menurut Tristanto, GAM paling suka memanfaatkan keadaan seperti
ini, di mana konsentrasi aparat terpusat pada iringan yang dikawalnya
sehingga apabila GAM menyerang, aparat tak bisa mengejar karena harus
menjaga rombongan. GAM biasanya merampok dan membunuh mangsanya. Tristanto
juga menuturkan, beberapa meter sebelum tempat kami berhenti, terdapat
beberapa rumah warga yang belum lama ini dibakar oleh GAM.
Wajah para relawan memerah menahan panas. Raut cemas juga sempat terlintas
di antara wajah mereka. Sesekali mobil tentara yang berpatroli melintas,
silih berganti dengan truk besar maupun kecil yang mengangkut bahan
bantuan yang terus-menerus mengalir. Suasana Aceh memang lebih mirip
daerah perang daripada daerah bencana. Di sepanjang jalan, setiap satu
kilometer terdapat pos tentara yang selalu siap siaga.
|
Setelah sempat 2 kali bermalam di perjalanan, kami
tiba di Meulaboh dan langsung mendirikan tenda di Desa Lapang, sekitar
1 km dari pusat kota Meulaboh. Seorang kerabat dari Faisal Amri, relawan
Tzu Chi dari Grup Sinar Mas, yaitu Sadzali, meminjamkan pekarangan rumahnya
untuk dijadikan posko Tzu Chi.
Kehidupan Berangsur Normal
Meulaboh merupakan kota terbesar ketiga di Aceh. Meulaboh dikelilingi
oleh rimbunan pohon karet yang sebagian besar kini meranggas tak kuasa
menahan terjangan tsunami. Di balik rerimbunannya masih terselip banyak
mayat yang belum dievakuasi. Pusat kota Meulaboh yang jaraknya dekat
dengan bibir pantai, seperti kota mati. Lebih dari setengah luas kota
menjadi korban keganasan tsunami. Korban jiwa di seluruh Aceh Barat
mencapai lebih dari 15.000 orang.
Ketika Tzu Chi menginjakkan kaki di Meulaboh pada tanggal 16 Januari,
kehidupan sudah mulai berangsur normal. Pusat aktivitas sekarang bergeser
ke arah utara, 2 km dari bibir pantai, di wilayah kota yang tidak tersentuh
tsunami. Di wilayah ini, banyak sekali posko pengungsi maupun posko
bantuan dari dalam maupun luar negeri. Di sini pula terletak markas
Kompi Senapan C Batalion Infanteri 112 Meulaboh yang menunjukkan kesibukan
luar biasa. Maklum, Kompi C menjadi pusat Posko Satkorlak (Satuan Koordinasi
Pelaksana) Penanggulangan Bencana Alam.
Semenjak bencana, kota Meulaboh seperti sedang perang. Tentara dari
berbagai negara hilir mudik dengan senjata tergantung di bahu. Organisasi-organisasi
non-pemerintah juga tak ketinggalan. Dari LSM lokal dan mancanegara
hingga badan-badan PBB, seperti UNHCR, UNICEF, ataupun WHO, ikut bahu-membahu
dalam aksi kemanusiaan ini.
Tendaku Rumahku
Kamp pengungsi juga menjadi pemandangan lazim di Meulaboh. Di seluruh
Kabupaten Aceh Barat, ada lebih dari 40.000 pengungsi yang tersebar
di 7 kecamatan. Mereka tinggal di kamp-kamp pengungsi ataupun menumpang
di rumah famili yang tidak terkena bencana. Tenda-tenda pengungsi tersebar
di tanah-tanah lapang.
Uniknya, ada juga pengungsi dari luar Aceh Barat yang mengungsi ke Meulaboh.
Dua buah tenda di seberang MAN 1 Meulaboh salah satunya. Di dalam tenda
ini berdiam para pengungsi dari Aceh Jaya. Ketika Tzu Chi memberikan
bantuan, mereka menuturkan kisah mereka hingga bisa menjadi pengungsi
di Meulaboh. Hingga 3 hari usai bencana, bantuan makanan belum ada yang
sampai ke Aceh Jaya sehingga mereka selama itu harus menahan lapar.
Sementara akses jalan keluar dari Aceh Jaya terputus. Helikopter berseliweran
di atas kepala mereka, tapi tak satu pun yang menurunkan bantuan.
Akhirnya, mereka secara beramai-ramai meninggalkan Aceh Jaya. Melalui
hutan dan kubangan lumpur di berbagai sudut, mereka mencari asa untuk
mendapatkan makanan. Selama tiga hari tiga malam mereka menyusuri perjalanan
sebelum akhirnya tiba di Meulaboh. “Kami hanya memakan kelapa
selama tiga hari,” tutur mereka.
Perjalanan ke Teunom
Tanggal 24 Januari, 4 relawan Tzu Chi melihat langsung keadaan di Aceh
Jaya, tepatnya di Teunom. Kami harus melalui jalan tembus sejauh sekitar
100 km di antara hutan karet dan perkebunan kelapa sawit menggunakan
sepeda motor. Ketika melewati jalan setapak, motor kami terperosok oleh
kerikil. Ketika melewati jalan yang lebar, motor kami terperosok oleh
kubangan yang menganga. Entah berapa kali motor kami terperosok. Jalan
tembus tersebut layaknya trek reli Paris-Dakkar yang berdebu jika kering
dan layaknya trek offroad yang penuh lumpur bila hujan. Lima jam kami
harus terbanting-banting di atas motor. Jalan yang naik turun dan rusak
parah menjadikan badan kami serasa remuk.
Ketika memasuki Teunom, kami seperti melihat tsunami belum lama melanda
daerah ini. Puing dan kerusakan masih didiamkan begitu saja, padahal
bencana telah berlalu hampir sebulan. Beberapa bendera tertancap di
antara puing-puing yang artinya di balik puing tersebut masih ada mayat
yang belum dievakuasi.
Di pinggir jalan di dekat pusat kecamatan yang kini rata dengan tanah,
terdapat kerumunan orang. Mereka sedang menunggu pembagian beras dan
roti oleh aparat militer. Tak lama berselang, beras dan roti dibagikan.
Seumur hidup, baru sekali ini saya melihat orang yang betul-betul kelaparan
berebut makanan. Padahal yang diperebutkan hanya setengah batok kelapa
beras dan segenggam roti. Mereka saling berebut dan berteriak, “Pak,
saya lapar! Pak, saya lapar!” Tak terasa, mata saya basah. Apalagi
ketika melihat anak-anak kecil itu saling berebut dengan teman mereka
dan tergencet oleh orang dewasa.
Sungguh memprihatinkan.“Saya menangis melihat mereka berebut makanan,”
tutur Faisal Amri, relawan Tzu Chi. Usai survei dan melewatkan malam
di sana, kami kembali ke Meulaboh.
Masih Ada Trauma di Meulaboh
|
Di Meulaboh, selain bantuan logistik, Tzu Chi juga memberikan bantuan
pengobatan. Suatu kali, Tzu Chi membagikan bantuan logistik dan baksos
kesehatan di kamp pengungsi di Desa Lapang. Bantuan yang diberikan sebanyak
126 paket, berisi beras 10 kg, biskuit, wafer, dan susu bayi. Juga diadakan
baksos kesehatan yang melayani 124 pasien.
Ketika baksos kesehatan hampir selesai, ada seorang anak kecil berumur
4 tahun bernama Tengku Hamzah yang mendatangi mobil ambulans dengan
tangis yang meraung-raung. Ia meronta-ronta tak mau diperiksa. Ketika
relawan medis Tzu Chi memberinya sebuah permen lolipop, barulah tangisnya
berhenti dan ia mulai diperiksa. Luka bakar yang menganga dan merata
terdapat hampir di seluruh punggungnya. Luka itu dialaminya ketika tsunami
menerjang.
Ketika sedang diperiksa, tiba-tiba ia berteriak histeris, “Air!
Air!” Mobil ambulans yang dijadikan tempat pengobatan, mesinnya
tidak dimatikan agar AC tetap menyala, karena rasa traumanya, Hamzah
mengira deru suara mesin mobil adalah suara gelombang tsunami. Padahal
suara mesin mobil sangat kecil. Ia pun kembali menangis dan mendekap
ayahnya erat-erat. Harus dengan bujuk rayu barulah tangisnya berhenti.
Belum terlalu lama tangisnya reda, tiba-tiba raungan suara helikopter
kembali meledakkan tangisnya. Ia pun kembali berteriak histeris dan
memeluk ayahnya erat-erat, “Air! Air!” Ayahnya dan relawan
pun kembali berusaha menenangkannya.
Kejadian ini tidak hanya dialami Hamzah. Banyak korban yang serupa dengannya.
Sebagian besar korban yang menderita trauma adalah anak-anak dan kaum
wanita. Tidak sedikit pula kaum lelaki.
Sulaeman adalah salah seorang lelaki yang masih menyimpan trauma. Lelaki
dari Kuala Bubon, Kecamatan Samatiga yang menumpang mengungsi di rumah
Mukhlis di Desa Reusak ini masih belum bisa menerima kenyataan pahit
ini. Tatapan matanya kosong dan tidak memiliki gairah hidup. Akibatnya,
ia menjadi sering sakit-sakitan. Menurut Hamdan, rekannya sesama pengungsi,
Sulaeman kehilangan istri dan 2 anak kesayangannya, serta 3 adik, adik
ipar, dan ibu tiri. Kini ia sendirian menjalani sisa-sisa kehancuran.
Hamdan juga menuturkan, ketika amukan tsunami datang, Sulaeman dan rekan-rekannya
sedang melaut. Lima kali mereka harus melawan ombak yang menggunung.
Dengan perjuangan keras antara hidup dan mati, serta sempat terlunta-lunta
di tengah lautan, sebagian besar dari mereka akhirnya selamat.
Sulaeman memerlukan dukungan agar bisa melanjutkan harinya. Sembari
memberikan bantuan pengobatan kepada Sulaeman, relawan Tzu Chi, Weni
Yunita mengajaknya berbincang dan menghiburnya, “Pak, sekarang
ini kita tidak bisa menanyakan mengapa (mengapa saya begini?, mengapa
musibah ini terjadi?, mengapa keluarga saya semuanya meninggal?), tapi
tanyakanlah apa (apa yang harus kita lakukan, apa yang harus saya perbuat
untuk masa depan).”
Gumpalan air mata memenuhi seluruh permukaan kelopak mata Sulaeman namun
tidak sampai tumpah karena ia segera mengusapnya. Tatapannya masih kosong.
“Melangkahlah bila Bapak ingin melangkah. Jangan pernah takut
karena Tuhan akan selalu berada di sisi Bapak. Apapun dan bagaimana
pun keadaan Bapak,” lanjut Weni. Sulaeman menghela nafas sejenak
dan mengangguk kecil. Sebuah senyum kecil yang selama ini lenyap darinya
tersungging untuk sesaat. Ia pun bercerita bahwa pagi hari tadi, ia
mengikuti sholat Idul Adha di masjid. Dalam sholatnya, ia mendoakan
agar keluarganya yang telah meninggal dunia dapat diterima di sisi Tuhan.
Sedangkan yang ditinggal diberi kesehatan dan panjang umur.