Peta Situs | Komunitas Tzu Chi | Links  
Tentang Kami | Berita Tzu Chi | Misi & Visi | Cara Berpartisipasi | Jadwal Kegiatan | Inspirasi | Kantor Penghubung | Kata Perenungan
Berita Tzu Chi
 Amal
 Kesehatan
 Pendidikan
 Budaya Kemanusiaan
 Lingkungan
 Berita Lain
 Foto Peristiwa
Pesan Master
Tanpa mengerjakan sesuatu setiap hari adalah pemborosan kehidupan manusia, aktif dan berguna bagi masyarakat adalah penciptaan kehidupan manusia.
-- Master Cheng Yen  
Lihat Pesan Lainnya
Lain - lain
 Tzu Chi E-Cards
 Tzu Chi Wallpaper
 Tzu Chi Songs
 Tzu Chi Souvenir
 Hubungi Kami
 Forum Tzu Chi

 
Tanggal : 04/04/2009

Kunjungan Kasih Tan Ai Ming

Untukmu Papa dan Mama

                                                                                             artikel: Apriyanto & foto: Apriyanto & Anand Yahya

Foto

* Bantuan yang diberikan dari Tzu Chi kepada keluarganya membuat ia memahami makna hidup ini yang berproses. Afung bertekad akan mensyukuri semua ini dengan bersumbangsih kepada sesama.

Inhwati biasa disapa Afung, seorang gadis muda berusia 20 tahun, berkulit putih. Tingginya tidak lebih dari 165 cm, berwajah bulat telur dengan rambutnya yang panjang dan dibiarkan tergerai menutupi keningnya. Hari itu adalah Sabtu, 4 April 2009, jam menunjukkan pukul 09.20 dan Afung masih duduk terdiam di sebuah sofa kulit berwarna cokelat muda.

Beberapa saat kemudian, wajahnya ia palingkan ke kiri tertuju ke Yang Lien Hwa, seorang wanita berusia 60 tahun berkaus lengan panjang biru dan bercelana panjang putih. Semua yang ia kenakan terlihat sederhana, riasanya pun tampak sederhana. Namun ia selalu menyembulkan senyum yang ramah dan lepas, membuat ia terlihat sebagai seorang wanita tua yang memesona. Di sampingnya duduk seorang relawan pria bernama Tjie Khin Tjung, juga mengenakan setelan seragam yang sama. Setelan biru putih, seragam para relawan Tzu Chi. Usianya telah mencapai 51 tahun, tetapi wajahnya terlihat lebih muda dari umurnya.

Perlahan bibir Afung mulai bergerak mengeluarkan kata-kata yang menceritakan kisah hidupnya. Semakin dalam ceritanya, air matanya semakin terurai membasahi pipinya. Suaranya pun semakin berat terputus-putus tertahan di kerongkongan. Namun cerita itu terus bergulir bagaikan air yang bergemuruh, menyiratkan kerinduan yang terpendam, kepedihan yang tertahan, dan menghembuskan aroma luka. Afung Pun berkisah.

Kenangan itu Masih Membekas
Bong Khiun Nggo masih terlihat lemah meski ia baru satu minggu dirawat di rumah sakit. Setiap malam Khiun Nggo sebentar-sebentar terbangun, antara terjaga dan tertidur, ia berkata kepada suaminya Tan Ai Ming, “Ayo cepat ke rumah sakit.” Tan Ai Ming yang saat itu tidak memahami hanya berkata, “Udah, itu hanya pikiran. Minum obat dulu aja,” saran Ai Ming untuk menenangkan istrinya.

Tak terduga hari itu, Jumat di tahun 1999, rasa sakit Khiun Nggo memang tak tertahankan lagi, nafasnya sesak, dan tubuhnya semakin lemah karena perut yang membesar seperti hamil 6 bulan. Ambulance segera didatangkan oleh Ai Ming, dan Khiun Nggo segera dilarikan ke rumah sakit Medika Griya, Sunter, Jakarta Utara dengan didampingi oleh Ai Ming dan Afung yang saat itu baru berusia 11 tahun duduk di kelas 6 Sekolah Dasar (SD). Dokter mengatakan telah terjadi komplikasi di tubuh Khiun Nggo yang disebabkan karena jantung bocor. Perutnya yang membesar juga banyak disebabkan dari kebocoran jantung. Khiun Nggo terpaksa harus kembali dirawat di rumah sakit.

Keesokan harinya, Afung menjalani aktivitas seperti biasa, pergi ke sekolah di SD Cicilia Sunter. Tetapi belum selesai ia mengikuti jam pelajaran, tahu-tahu pukul 10.00 adik dari Khiun Nggo, tante Afung datang memberitahukan kondisi mamanya yang kritis dan menjemput Afung pulang untuk ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, Afung mendapati mamanya dalam kondisi setengah sadar, sebuah infus tertancap di salah satu lengannya dan sebuah masker oksigen terpasang di wajahnya. Kondisinya terlihat sangat lemah dan terus meronta-ronta menahan rasa sakit. Hati Afung menjadi terguncang antara sedih dan takut. Dengan penuh harapan Afung membaca mantra “Maha Karuna Dharani” (Cinta Kasih yang Luas) di samping Khiun Nggo, memohon sebuah keajaiban datang menyembuhkan mamanya.

Tiga jam sudah Afung membaca Ta Pei Cou di samping mamanya, dan Khiun Nggo pun terbangun. Afung langsung menggenggam jemari Khiun Nggo yang masih tergerai lemas, lalu Khiun Nggo dengan lemah berkata, “Mamah udah tidak kuat.” Air mata Afung langsung bercucuran membasahi wajahnya, sambil terisak-isak ia berkata, “Mama harus kuat, karena mama janji sama Afung mau pergi ke Zhong Guo untuk mengobati mama.” Khiun Nggo masih tidak dapat berkata-kata, ia hanya mengulangi ucapannya, “Udah tidak kuat.”

 

Ket: - Afung saat menceritakan kisah hidupnya kepada relawan Tzu Chi, Lien Hwa dan Khin Tjung. (kiri)
       - Setelah beberapa kali pindah kontrakan, akhirnya Tan Ai Ming memilih tinggal di kandang kambing yang ada
         di Taman BMW, Sunter, Jakarta Utara. (kanan)

Sambil menangis Afung meminta maaf atas semua kesalahannya. “Mama, Afung minta maaf. Mama harus sembuh, kalau mama sembuh, Afung janji akan berubah menjadi lebih baik.” Meski kata-kata itu dapat didengar oleh Khiun Nggo, tetapi ia hanya terdiam tak berkata-kata dan meronta-ronta menahan rasa sakit.

Melihat mamanya yang amat tersiksa, hati Afung semakin takut akan kehilangan orang yang terdekat dan dicintainya. Dengan berat hati Afung pulang ke rumah untuk mengganti pakaian. Begitu sampai di rumah, Afung langsung memanjatkan doa di depan altar Kwan Yin. “Dewi Kwan Yin, tolong sembuhkan Mama saya,” pinta Afung.

Setelah selesai memanjatkan doa dan berganti pakaian, Afung segera beranjak pergi menuju rumah sakit. Matahari sudah berada di sisi barat dengan cahayanya yang semakin kuning. Tepat Pukul 16.00, Afung tiba di rumah sakit, langkahnya langsung menuju ke kamar tempat mamanya dirawat. Di sisi Khiun Nggo, Afung berdiri memandangi mamanya yang sedari tadi tersiksa oleh penyakitnya. Anak, suami, saudara-saudara, dan kerabat dekat telah berkumpul dihadapan Khiun Nggo. Mereka semua melantunkan pelafalan nama Buddha “Nan Mo Amito Fo” beberapa saat kemudian di hadapan orang-orang yang mencintainya dan diiringi pelafalan nama Buddha, Khiun Nggo menghembuskan nafas terakhirnya dengan damai. Air mata langsung berderai dari wajah-wajah yang hadir. Afung sangat terpukul menerima kenyataan ini, hatinya mulai goyah, dan keyakinannya mulai luntur. Afung langsung berlari keluar rumah sakit. Sesampainya di luar, ditegakkannya kepalanya ke langit. Sambil menangis ia berkata, “Tuhan tidak adil, kenapa Tuhan ambil mama saya. Saya tidak mau sembahyang lagi ke Tuhan.” Maka sejak detik itu, Afung tidak pernah lagi memanggil nama Tuhan atau berdoa meski dalam keadaan sulit dan sedih.

Beberapa hari kemudian, jenazah Bong Khiun Nggo dimakamkan di pemakaman Rawa Kucing, Tangerang. Ai Ming dan Afung masih dilingkupi rasa duka yang mendalam. Wajahnya tak lagi memancarkan gairah keceriaan, suram, dan penuh duka. Hanya Untung anak lelaki pertama Khiun Nggo yang tidak mengekspresikan rasa sedih, dingin. Karena memang saat itu kondisi psikologis Untung terganggu, emosinya tidak labil, dan bahkan Untung sering didapati berbicara sendirian tanpa seorang teman.

Sepeninggalan Khiun Nggo—sebagai ibu rumah tangga—keadaan ekonomi Ai Ming semakin merosot karena Ai Ming harus berperan sebagai orangtua tunggal. Selain mengurusi anak-anak, ia juga harus bekerja di luar. Akhirnya pada tahun 2000, Ai Ming memutuskan pergi ke Tiongkok untuk mengobati Untung sekaligus mencari usaha baru. Saat itu Afung yang baru duduk di kelas 1 SMP tidak bersedia ikut dan memilih untuk tinggal di kos selama Ai Ming pergi meninggalkannya. Berita ini terdengar oleh salah satu tetangga Ai Ming yang kemudian bersimpati lalu menemui Ai Ming dan Afung, dengan simpati berkata, “Daripada ngekos lebih baik tinggal sama saya di rumah. Di kos kasihan sendiri.” Ajakan tetangganya dirasa Afung sangat masuk akal. Akhirnya Afung memutuskan tinggal bersama tetangganya dengan catatan Afung meminta Ai Ming rutin mengirimi uang padanya agar bisa diberikan ke tetangganya yang telah memberikan tempat tinggal.

Hari-hari berlalu dengan cepat. Afung menjalani hidupnya tanpa lagi kasih sayang dari ibu dan perlindungan seorang ayah. Gambaran hidup nyaman bersama orang lain kini mulai terlihat pudar. Afung sudah tidak lagi merasakan kenyamanan seperti tinggal di rumah sendiri. Dalam usianya yang masih belia, Afung harus merasakan pahit getirnya kehidupan. Ai Ming yang membuka usaha di negeri Tiongkok—masih belum membuahkan kesuksesan. Imbasnya, kiriman uang untuk Afung menjadi sering tertunda. Untuk mengatasi kekurangan uang, Afung menjual seluruh koleksi kertas suratnya dan beberapa perhiasan peninggalan ibunya. Dengan cara ini maka kesulitan yang ia hadapi dapat sedikit teratasi. Tetapi kondisi ini justru mendorong Afung menjadi pribadi yang mandiri dan tegar dalam menjalani kehidupan.

 

Ket: - Sejak pulang dari Tiongkok, Tan Ai Ming tidak memiliki pekerjaan yang tetap sehingga membuat Afung putrinya
         harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. (kiri)
       - Yopie Budiyanto, relawan Tzu Chi yang banyak mendampingi Tan Ai Ming selama Tzu Chi memberikan bantuan kepada
         Tan Ai Ming. (kanan)

Kembalinya Keyakinan Afung
Setelah Khiun Nggo meninggal, Afung berubah menjadi pribadi yang tertutup di dalam keluarga. Tetapi di lingkungan pergaulan, Afung memiliki sahabat-sahabat yang dekat dan sayang padanya. Saat SMP kelas 2, Yovie Tandius, gadis remaja yang cukup dekat dengan Afung dan telah memahami kondisi Afung mulai menasehati Afung dengan berkata, “Dari pada jam 7 pagi nonton Doraemon, lebih baik ke Vihara.” “Saya masih belum yakin ke Vihara,” jawab Afung padanya. “Jangan begitu, Buddha sesungguhnya sayang sama kamu, buktinya kamu tidak kenapa-napa,” balas Yovie.

Saran Yovie masih belum dapat mengembalikan keyakinan Afung, dan Afung masih hidup dalam pendiriannya yang kecewa dan tidak percaya kepada Tuhan. Sampai suatu waktu, Sanita salah satu teman Afung datang mengunjunginya dan dengan sabar berkata kepada Afung, “Fung, kita kebaktian aja ke rumah Tao. Buddha itu baik, Buddha tidak akan tinggal diam bila umatnya kenapa-napa.”

Dalam pikirannya, Afung mulai berpikir suatu keyakinan yang harus ia pegang. Nasihat-nasihat dari sahabat-sahabatnya mulai terolah dan saling memberikan penjelasan yang bermuara pada jawaban yang masuk dalam penalaran dirinya. Sanita kembali membujuk Afung dengan menyarankan agar Afung rajin ke Vihara untuk mendoakan Untung agar cepat sembuh.

Didasari atas kecintaan terhadap keluarga dan penalaran yang telah menyusup ke dalam keyakinannya, maka Afung mulai kembali menginjakkan kakinya ke Vihara Dharma Jaya Senen, Sunter, Jakarta Utara. Afung mulai aktif mengikuti kebaktian di Vihara Dharma Jaya Senen, dan luka itu mulai tergantikan dengan keikhlasan batin.

Masa-masa Sulit
Satu tahun berikutnya, saat Afung akan memasuki Sekolah Menengah Pertama (SMP), Ai Ming kembali dari Tiongkok. Namun kepulangan Ai Ming masih belum membuahkan kesuksesan, bahkan untuk uang pangkal Afung masuk ke Sekolah Menengah Atas (SMA) sebesar lima juta rupiah, Ai Ming harus mengumpulkan dana dari teman-temannya. Pekerjaan Ai Ming semakin tidak tetap—bisa dikatakan sepulang dari Tiongkok, Ai Ming sudah tidak bekerja lagi. Karena kondisi kehidupan keluarga yang semakin sulit, akhirnya di kelas 2 SMA, demi mencukupi kebutuhan keluarga, Afung memutuskan untuk bekerja. Pekerjaan pertama yang ia dapat saat itu adalah sebagai SPG (sales promotion girl) harian di salah satu perusahaan teknologi informasi. Tugasnya menyurvei warnet-warnet untuk mendata games yang sedang digandrungi. Gajinya Rp 140.000 per hari, tetapi kerjanya hanya satu dua hari saja. Karena kerjanya yang tidak rutin, maka Afung mencari pekerjaan lain dan diterima sebagai SPG di perusahaan telekomunikasi terkemuka, Excellcomindo (XL). Di perusahaan ini, Afung bertugas sebagai SPG yang menawarkan aplikasi fitur tambahan kartu handphone kepada para konsumen. Gaji yang ia peroleh sebagai pegawai SPG tidak terlalu besar, tetapi bisa untuk memberi tambahan dalam mencukupi biaya hidup dan sekolahnya. Setiap bulan Afung selalu memberikan 60% dari gaji yang ia terima untuk diberikan kepada ayahnya Tan Ai Ming, yang saat itu sudah tinggal terpisah dengan Afung. Afung sendiri saat itu telah tinggal bersama tantenya di Sunter. Setelah selesai kontrak, Afung kembali melamar pekerjaan dan diterima kerja di perusahaan jewelery ternama di Jakarta, tokonya berada di Mall Taman Anggrek.

Di pertengahan tahun 2007, perusahaan perhiasan tempatnya bekerja mengalami kegoyahan. Beberapa karyawan harus di-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Dan Afung menjadi salah satu karyawan yang terkena PHK saat itu. Afung mendapat uang pesangon sebesar Rp 4.000.000. Uang itu rencananya akan digunakan Afung untuk biaya hidup sehari-hari, sebelum ia mendapatkan kerja dan juga untuk kehidupan Ai Ming dan Untung.

 

Ket: - Lien Hwa saat menasehati Afung, bahwa dua hal yang utama dalam hidup ini yang harus dilakukan yaitu berbakti
         pada orangtua dan berbuat kebajikan. (kiri)
       - Kisah hidup Afung yang penuh liku, menyentuh hati Khin Tjung hingga membuatnya menitikkan air mata. (kanan)

Suatu hari, salah satu teman baiknya di SMA Budi Mulia menyarankan Afung untuk ikut menjalani bisnis MLM (multi level marketing). Semula Afung ragu untuk menjalaninya, sebab untuk bergabung dengan MLM yang menjual produk koin emas, Afung harus menanam modal sebesar Rp 2.500.000.- Tetapi teman baik Afung terus membujuknya, juga para leader di MLM itu yang terus memvisualisasikan keberhasilan-keberhasilan bila bergabung dengan MLM ini. Akhirnya dengan masih diliputi keragu-raguan, Afung bersedia bergabung dalam MLM tersebut. Ternyata bergabung dengan MLM justru membuat pengeluaran Afung membengkak. Ia harus membayar biaya training sebesar Rp 10.000,- setiap kali pertemuan. Belum lagi karena tempat trainingnya yang berlokasi di Hotel Alila, Pecenongan, Jakarta Pusat, Afung harus menggunakan Bajai menuju ke sana, dan sekali pulang-pergi bisa menghabiskan Rp 30.000,-. Afung mulai merasa dirinya telah ditipu perlahan-lahan, akhirnya ia mengundurkan diri dari MLM tersebut. Setelah mengundurkan diri dari MLM ini Afung kembali mencari pekerjaan, dan yang akhirnya diterima di perusahaan telekomunikasi Mobile Fren.

Di bulan Oktober, ketika Afung sedang bertugas di salah satu Mall, ia bertemu dengan leadernya sewaktu di perusahaan Jewelery. Leader itu langsung menginformasikan bahwa perusahaannya kini telah membaik dan ia menyarankan agar Afung kembali bergabung di sana. Dengan senang hati Afung menerima tawaran itu, dan setelah ia menyelesaikan tanggung jawabnya di Mobile Fren, ia kembali bergabung di perusahaan Jewelery.

Suatu hari, Ai Ming menemui Afung untuk memberitahukan bahwa ia telah tinggal di taman BMW, Sunter, Jakarta Utara. Total biaya yang telah dikeluarkan adalah Rp 8.000.000,- yang berasal dari belas kasih teman-temannya. Dengan ragu Afung bertanya, “Pa, di taman BMW apa aman, apa nanti tidak kena gusuran?” “Di sini aman, RT dan RW-nya juga sudah ada. Untung juga jarang ngamuk, paling tidak di sini tidak diusir orang. Jadi lebih aman,” jawab Ai Ming meyakinkan. Afung tidak bisa mencegahnya lagi, sebab papanya telah membuat keputusan yang diyakininya tepat.

Karena penasaran, Afung mendatangi Taman BMW. Dilihatnya lapangan itu sudah terisi penuh dengan rumah-rumah penduduk. Ada yang telah berbentuk permanen dan ada pula yang masih berbahan kayu. Agak ke ujung di samping sebuah warung kecil, di sisi padang ilalang berdiri sebuah bangunan kayu berukuran 4 x 6 meter. Dindingnya terbuat dari triplek, tiang penyangganya menggunakan kayu kaso persegi, dan atapnya menggunakan terpal. Rumahnya lebih mirip sebuah gubuk. Lantainya pun beralaskan tanah berangkal batu.

Masuk ke dalam rumah, dindingnya dipenuhi dengan gambar-gambar Buddha dan Bodhisattva. Di salah satu sisi ruangan tergeletak sebuah ranjang rotan lusuh yang dipakai oleh Ai Ming untuk tidur. Terlihat juga rice cooker dan piring-piring yang tersusun di lantai. Lebih maju beberapa langkah, ruangannya dipisahkan oleh dinding triplek. Di dalamnya berisi sebuah sping bed tempat tidur Untung, dan diujungnya ada sebuah kamar mandi. Ruangannya terasa pengap di siang hari karena pori-pori terpal yang mudah menyerap panas matahari. Dan sebaliknya, terasa lembab di malam hari.

 

Ket: - Afung sangat berterima kasih kepada Yayasan Buddha Tzu Chi, sebab atas bantuannya, maka beban hidupnya
         terasa lebih ringan. Dan Tzu Chi juga telah membuat ia kembali menjadi pribadi yang terbuka.

Melihat tempat tinggal Ai Ming yang tidak layak, hati Afung langsung terenyuh, lalu berkata kepada papanya, “Kenapa Papa jadi gini? Papa pindah aja ke kontrakan yang lebih layak. Afung bisa usahakan uang untuk Papa.” Tetapi Ai Ming hanya menggeleng dan berkata, “Ga usah, nanti ngekos juga dipindahin lagi. Lebih baik kalau ada uang kumpul-kumpul untuk benerin atap belakang yang masih miring.” Akhirnya Afung segera mengusahakan uang, sebesar Rp 2.000.000,- untuk merapikan tempat tinggal Papanya, dan rumah Ai Ming dengan segera dirapikan.

Sayang, 9 bulan tinggal di taman BMW, tempat ini akhirnya digusur pada pertengahan tahun 2008. Rumah-rumah dibongkar dengan paksa, dan Ai Ming harus rela meninggalkan gubuknya yang semata wayang untuk pindah ke tempat lain. Dengan tertatih-tatih, akhirnya Ai Ming sampai di Jembatan Goyang, Sunter yang juga daerah pemukiman kumuh. Di sini Ai Ming menyewa salah satu kamar kos. Di tempat kos inilah Ai Ming melayangkan suratnya kepada Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia untuk memohon sebuah bantuan.

Jalan Berbatu
Jalan itu berkerikil batu, berselimutkan pasir dan debu yang mengering. Cahaya matahari mulai terasa panas. Pukul 10.00, di pertengahan tahun 2008, Yang Lien Hwa bersama Tjie Khin Tjung menanggapi surat permohonan Ai Ming yang masuk ke Yayasan Tzu Chi dengan mendatangi Jembatan Goyang Sunter untuk mencari tempat tinggal Tan Ai Ming, karena sehari sebelumnya Yopie Budiyanto gagal menemukan tempat tinggalnya.

Begitu ketemu seorang warga, Lien Hwa langsung bertanya, “Pak, saya mau cari alamat ini, di mana ya?” “RT, RW berapa Bu?” tanya warga itu. “Jembatan Goyang samping Masjid, orang Tionghoa,” jawab Lien Hwa. “Siapa ya, coba saya tanya-tanya ke warga yang lain,” balas warga itu. Setelah menanya ke beberapa warga, sosok Tan Ai Ming yang dimaksud masih belum juga ditemukan, akhirnya Lien Hwa dan Tjie Khin Tjung memutuskan meninggalkan Jembatan Goyang untuk beristirahat.

 

Ket: - Sejak memasuki usia remaja, Untung mengalami gangguan psikologis. Untung juga sering didapati berbicara
         sendirian tanpa seorang teman.

Mobil yang mereka tumpangi segera diarahkan ke salah satu rumah makan vegetarian di bilangan Sunter. Sambil menikmati santap siang, Lien Hwa menelepon Afung, “Fung kamu bisa datang ga hari ini? Alamatnya belum ketemu.” “Maaf Aih (bibi –red), hari ini saya tidak bisa meninggalkan kerjaan. Kalau kata Papa, alamatnya Jembatan Goyang, dekat Masjid, itu saja,” jawab Afung kepada Lien Hwa. Karena Afung tidak bisa menemani mereka, maka pukul 13.00 Lien Hwa dan Khin Tjung kembali mendatangi Jembatan Goyang. Cahaya matahari semakin panas membakar kulit, keringat bercucuran dengan deras dari wajah dan tubuh mereka. Jalan berkerikil kembali mereka susuri, kali ini terasa lebih berat karena hawa panas seolah menahan setiap langkah mereka. “Di daerah sini ada dua masjid,” kata salah satu warga yang mereka temukan. Kedua masjid itu mereka sambangi, tetapi hasilnya, tempat tinggal Ai Ming masih belum ditemukan. Dua jam telah berlalu, akhirnya Lien Hwa memutuskan untuk pulang dan meneruskan pencarian keesokon harinya—yang dilanjutkan oleh Yopie Budianto.

Beruntung di hari berikutnya, Yopie menemukan tempat tinggal Ai Ming, dan pengajuan bantuan Ai Ming akhirnya diproses. Berita ini tentunya memberikan kabar bahagia bagi Afung. Sebab selama ini ia memang berharap ada seseorang yang dapat memberikan pertolongan dalam hidupnya. Dari bantuan Tzu Chi ini, Afung menjadi paham bahwa hidup ini berproses dan semua yang ia jalani adalah bagian dari proses kehidupan, bahwa semua kejadian ada sebuah hikmah yang patut dipetik.

Sabtu 4 April 2009, jarum jam menunjukkan pukul 11.45. Wajah Afung kini telah kembali berseri. Air matanya yang sedari tadi terurai telah mengering disapu waktu dan udara. Tjie Khin Tjung juga telah membersihkan wajahnya dari air mata dengan tisu karena turut menangis mendengar kisah yang dibawakan oleh Afung. Sambil menatap wajah Afung, Yang Lien Hwa dengan lembut berkata, “Afung telah menjalankan hal yang terbaik sebagai seorang anak. Di usia yang masih muda, Afung telah bekerja membantu orangtua. Itu adalah dua hal yang utama dalam hidup ini, yaitu berbakti pada orangtua dan berbuat kebajikan. Dan Afung telah melakukan itu. ”Afung sejenak menarik nafasnya lalu berkata, “Saya sekarang sedang mengumpulkan uang sedikit-dikit. Rencananya bila sudah terkumpul, saya mau mencetak ”Sutra Bakti Seorang Anak” dan juga mendanakan uang kepada Tzu Chi, semuanya atas nama Mama. Biar nanti Mama bisa bahagia di alam sana.” Lien Hwa dan Khin Tjung tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Kemudian Afung melanjutkan, “Saya mengucapkan terima kasih kepada Tzu Chi. Bukannya saya munafik, tetapi tanpa bantuan Tzu Chi beban hidup saya terasa sangat berat, saya bekerja pun rasanya tidak mampu. Karena Tzu Chi juga saya kembali menjadi pribadi yang terbuka.” Sesungging senyum keluar dari wajahnya yang bulat. Lien Hwa dan Khin Tjung memandanginya dengan penuh makna. Makna dari pertemuan siang itu bahwa hidup ini adalah sebuah proses dan dalam setiap proses selalu tersirat pesan yang mendalam.

Berita Terkait :
       - Kekuatan Hati Tan Ai Ming (02/03/2009)
       - Jangan Melupakan Budi (06/03/2009)

 

 
Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia
Telp. (021) - 6016332, Fax. (021) - 6016334
Copyright © 2005 TzuChi.or.id