Kisah
Sofian Sukmana
AKU TAK PERLU PAKAI TOPI LAGI!
|
Kegembiraanku berasal dari suara tawamu
Nama saya Sofian Sukmana (15 tahun). Tanggal 21 Juli adalah hari ulang
tahun saya. Sejak kecil saya sering sakit, kadang-kadang tubuh saya panas,
pernah juga sampai kejang-kejang. Kemudian saya juga mimisan. Waktu umur
tujuh tahun, dokter mengatakan kalau saya kena penyakit mata. Setelah
dirontgen, ternyata mata saya baik-baik saja, tapi malahan dokter bilang
kalau ada tumor yang tumbuh di wajah saya.
Bulan Juli 1997, saya pertama kali dioperasi. Menjelang operasi, ada juga
perasaan takut, tapi karena ingin sembuh, saya coba untuk memberanikan
diri saja. Setelah operasi, hidung saya malah jadi tersumbat. Saya tidak
bisa bernafas lewat hidung, terpaksa harus nafas lewat mulut. Setelah
diperiksa lagi, ternyata saya juga kena sinusitis. Akhir bulan Oktober
1997, saya harus menjalani operasi sekali lagi. Setelah itu, kata dokter,
tumor di wajah saya sudah dibersihkan. Tapi anehnya, hidung saya masih
sering mengeluarkan darah, dan saya masih harus bernafas dengan mulut.
Kalau sedang kumat, darah tidak mau berhenti keluar dari hidung saya.
Sepanjang malam saya membungkuk atau menelungkup, menunggu darah berhenti
sendiri. Ibu sangat sedih melihat saya, ia sering menangis. Tapi Bapak
cukup tegar, ia yang membersihkan darah dan noda darah yang keluar dari
hidung saya.
Andaikan kamu menangis, aku akan merasa lebih bersedih daripadamu
Bapak dan ibu tidak bisa berbuat apa-apa. Saya tahu mereka sudah berusaha
mengobati saya. Saya sering dibawa bapak berobat ke sana kemari. Dari
dokter sampai dukun, juga bermacam-macam pengobatan tradisional sudah
saya jalani. Saya merasa sangat menderita, tapi Bapak berpesan bahwa saya
harus pasrah kepada kehendak Allah. Kata-kata ini selalu menguatkan diri
saya untuk menjalani semuanya tanpa menangis.
Tahun 1998, tempat kerja Bapak dibakar waktu kerusuhan.
Kami sekeluarga akhirnya pulang kampung ke Cirebon. Kami tidak pernah
ke dokter lagi karena tidak ada ongkos berobat, apalagi Bapak sudah tidak
bekerja. Setiap pagi sewaktu bercermin, saya melihat wajah ini perlahan-lahan
semakin membesar. Mata saya menonjol keluar dan mulai bergeser ke kanan,
menjauh dari hidung dan mendekati telinga kanan. Ketika saya keluar rumah,
selalu ada sekumpulan anak kecil yang mengikuti di belakang saya. Sambil
tertawa mereka menunjuk-nunjuk. “Itu... Itu....,” kata mereka.
Saya malu. Saya jadi takut orang lain melihat muka saya. Ke mana-mana
saya selalu menggunakan dua buah topi untuk menyembunyikan wajah. Jangan
sampai orang-orang melihat muka saya yang seperti ini.
Penglihatan saya juga mulai terganggu. Saat kelas III SLTP, waktu sedang
ujian sekolah, tiba-tiba saya tidak bisa melihat soal ujian dengan jelas.
Akhirnya saya pulang karena tidak bisa mengerjakan soal-soal itu. Sejak
itu saya terpaksa berhenti sekolah.
Impianku memerlukan pendampinganmu untuk mewujudkannya
Saya ingin sembuh, karena itu saya sering memperhatikan berita TV kalau
ada bantuan yang diberikan untuk orang yang punya penyakit. Suatu kali,
ada berita tentang yayasan onkologi di RS. Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Saya langsung berteriak memanggil ibu. Ibu pun mengajak saya ke sana.
Waktu kami sudah sampai, ternyata itu bukan yayasan, melainkan hanya sebuah
bagian dari rumah sakit. Hilanglah harapan saya. Untung, kemudian seorang
karyawan rumah sakit memberi tahu kami untuk menunggu seseorang yang katanya
sering datang ke rumah sakit untuk mengurus pasien-pasien yang tergolong
tidak mampu. Dari sana akhirnya saya kenal Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia
dan datang ke baksos kesehatan Tzu Chi tanggal 27 Maret 2004 di Jakarta.
Dalam baksos itu, kami bertemu dengan Dr. Lin dari Taiwan. Setelah diperiksa,
orang-orang ramai berbicara tentang saya mau dikirim ke Taiwan. Rasanya
saya tidak percaya waktu mereka bilang saya akan dikirim untuk berobat
di sana. Saya pikir, “Ah, nggak mungkin lah bisa ke Taiwan, paling
juga cuma di Cipto (RSCM-Red).”
Kasih sayang yang kamu berikan, membuat semangatku bertambah
|
Ternyata berita itu tidak bohong. Saya benar-benar diurus
untuk berobat ke Taiwan. Saya merasa sangat bersuka cita, sangat terharu.
Tidak disangka ada orang yang bersedia membantu saya dan melenyapkan penderitaan
saya. Mungkin dikarenakan takdir dari Tuhan, sehingga saya dapat bertemu
dengan Tzu Chi.
Tanggal 25 April 2004, saya dan Bapak berangkat ke Taiwan. Itu pertama
kalinya saya naik pesawat dan pertama kalinya saya ke luar negeri.
Setelah pesawat mendarat di Taiwan, rombongan besar sudah menunggu kami
di bandara. Saya kaget, semua dokter dan perawat menyambut kami seolah-olah
sudah kenal saya dan Bapak, padahal saya sama sekali tidak mengenal mereka.
Kamar tempat saya dirawat penuh dengan hiasan. Ada balon, boneka, juga
poster besar yang di atasnya bertuliskan “Selamat datang, Sofian”.
Di dinding tertempel kartu-kartu kegiatan sehari-hari, misalnya “makan”,
“buang air kecil”, “minum obat”, yang ada tulisan
Mandarin dan bahasa Indonesianya. Maksud mereka supaya kalau saya memerlukan
apa pun, tinggal tunjuk saja kartunya.
Sekali lagi saya dibuat terharu, karena mereka sangat memikirkan kenyamanan
saya, juga kendala bahasa yang berbeda ini. Belum pernah saya bertemu
rumah sakit yang seperti ini. Padahal saya ini dibantu oleh mereka, berobat
dengan tanpa membayar pula. Kenapa mereka malah begitu baik pada saya?
Karena kita adalah satu keluarga
|
Selama penantian masa operasi, segala rasa berkecamuk
jadi satu. Ada perasaan gembira juga perasaan sedih. Tapi semua dokter
dan perawat, juga pasien-pasien yang lain sangat penuh perhatian. Banyak
sekali orang yang datang menjenguk. Dua hari sebelum operasi, mereka memberikan
kartu ucapan yang berbunyi “Sofian, jaga kesehatanmu baik-baik”.
Kartu itu dipenuhi dengan cap tangan dari semuanya, menandakan mereka
mendoakan dan memberi semangat untuk menghadapi operasi. Meskipun ini
negeri asing, tapi saya selalu merasa seperti di rumah sendiri.
Sebelum operasi, dokter, Bapak, dan Om Erik (penterjemah-Red) mengadakan
rapat. Menghadapi operasi ini, perasaan saya sedikit gelisah sekaligus
tidak sabar, tapi kata Bapak, “Tenang saja, di sini alatnya canggih,
dan dokternya juga pintar-pintar.”
Saya berharap mata saya dapat kembali melihat dunia yang indah, agar di
wajah saya jangan kembali tumbuh tumor yang besar dan menonjol. Sang tumor
telah bersemayam di wajah saya selama sekian lama. Saat ini, ia akan dilenyapkan
untuk selama-lamanya. Saya memohon agar sang tumor jangan kembali lagi.
|
Saya merasa wajah saya sangat buruk rupa, semoga para
dokter di sini dapat mengobati wajah saya dengan tuntas. Saya punya sebuah
harapan, nanti setelah operasi saya tak ingin lagi memakai topi untuk
menutupi muka.
Tanggal 13 Mei, waktu akan masuk ke ruang operasi, saya tidak sempat berpikir
apa-apa lagi. Dalam hati saya terus mengucapkan surat-surat Al-Quran.
Seperti Bapak, saya mempercayai semua dokter yang akan mengoperasi saya.
Hidup saya ada di tangan yang Maha Kuasa, maka saya tidak perlu khawatir.
Saling mendukung, saling mempercayai dengan penuh rasa syukur
|
Waktu sadar dari bius, saya sudah ada di ruang ICU, dan
wajah saya penuh dengan perban. Juga ada selang-selang di beberapa tempat.
Salah satunya di mulut untuk membantu pernafasan. Saya diberitahu bahwa
saya sudah dioperasi sebanyak dua kali. Yang pertama selama 21 jam untuk
mengangkat tumor, sedang yang kedua untuk membersihkan jaringan yang sempat
meradang karena operasi pertama berlangsung begitu lama.
Setelah tumor diangkat, ada rongga kosong di wajah saya. Sebagai penggantinya,
dokter mengambil otot dari paha kanan saya. Sekarang di paha kanan saya
ada bekas operasi yang memanjang, tapi ini lebih baik daripada tumor terus
tumbuh di wajah saya.
Hampir satu bulan, saya tinggal di ICU. Cuma dapat berbaring saja di tempat
tidur. Bapak sering datang untuk menemani saya, dia menyanyikan lagu-lagu
yang sering saya dengar sejak kecil, membuat perasaan saya tentram. Bapak
juga memberikan cermin pada saya. Cermin itu memantulkan bayangan seraut
wajah tanpa benjolan, batang hidung dan mata juga memiliki bentuk yang
bagus. Impian saya selama tujuh tahun ini terkabul sudah, saya harus lebih
bersemangat lagi untuk pulih kembali.
Selama saya di ICU, banyak pasien yang sudah keluar-masuk, tapi saya masih
harus terus terbaring di sana. Saya sangat rindu pada rumah. Beberapa
kali saya memimpikan pulang, bertemu dengan ibu, adik-adik, dan teman-teman
yang lain.
|